Serupa Dengan Perang Dingin, Akankah China Berakhir Seperti Uni Soviet?

Serupa Dengan Perang Dingin, Akankah China Berakhir Seperti Uni Soviet?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Hubungan antara China dan Amerika Serikat saat ini telah dibumbui dengan banyak rasa. Mulai manisnya kerja sama, asamnya saling tuding, hingga pahitnya perseteruan di berbagai bidang.
Ketika ketegangan China-AS semakin tumbuh, banyak pihak yang mulai membandingkan kondisi tersebut dengan Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet berkompetisi.

Bukan tanpa alasan, melainkan terlalu banyak alasan yang bisa menganalogikan ketegangan AS-China dengan Perang Dingin AS-Uni Soviet.

Meski begitu, akankah China berakhir seperti Uni Soviet ketika Perang Dingin?

Adalah Minxin Pei atau Tom dan Margot Pritzker, dua orang profesor dari Claremont McKenna College yang bisa menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan analisisnya.

Jawaban tersebut kemudian diunggah dalam sebuah junal bertaju "China's Coming Upheaval: Competition, the Coronavirus, and the Weakness of Xi Jinping" yang dipublikasi di Council on Foreign Relations pada Mei 2020.

Menganalogikan hubungan AS-China dengan Perang Dingin AS-Uni Soviet merupakan hal yang masuk akal.

Selama kompetisi Perang Dingin, kekakuan rezim Uni Soviet dengan kerasnya para pemimpin di sana merupakan kunci utama munculnya AS (atau mungkin lebih tepatnya demokrasi) sebagai the last man standing.

Jika dulu Uni Soviet hancur dengan keadaan ekonomi yang babak belur, perlombaan senjata yang tiada habisnya, pemerintahan yang kaku, hingga pengaruh di dunia yang mulai pudar. Maka saat ini, China seakan menjadi copy-an dari mantan negara tersebut. Di mana padahal, seharusnya China bisa belajar dari pengalaman Uni Soviet.

Kekuasaan Xi Jinping

Dijelaskan oleh Tom dan Pritzker, sejak 2018, Xi Jinping sudah memutuskan untuk menghapus batasan masa jabatan presiden sehingga ia bisa terus berkuasa. Alhasil, pemerintah China sangat kaku dengan kekuasaan "absolut" dari Xi.

Dengan kekuasaannya, Xi dengan gampang mengusir para pejabat, bahkan dari Partai Komunis, dengan tuduhan korupsi. Ia juga menekan kebebasan berbicara dengan membatasi media hingga menculik pengacara, wartawan, dan aktivis. Sensor media yang dilakukan pemerintahan Xi bahkan digadang-gadang menjadi yang paling ketat pasca era Mao Zedong.

Pemerintahan Xi juga telah membangun kamp "pendidikan ulang" di Xinjiang, di mana ia dilaporkan telah menahan lebih dari satu juta warga Uighur, Kazakh, dan minoritas muslim lainnya.

Kebijakan "satu negara, dua sistem" kepada Taiwan dan Hong Kong juga membuktikan betapa kaku dan kerasnya pemerintahan Xi.

Perseteruan Dengan AS

Perseteruan antara China dengan AS mulai tampak beberapa tahun terakhir, atau setelah Donald Trump dari Partai Republik menjabat sebagai presiden.

Perang dagang menjadi titik balik hubungan China dengan AS sekitar pada 2018. Di mana dua kekuatan ekonomi dunia tersebut saling meningkatkan tarif.

Ketegangan keduanya kemudian menjalar ke berbagai tempat. Mulai dari demonstrasi Hong Kong, sengketa Laut China Selatan, peran Taiwan, hingga terakhir dan masih terjadi hingga saat ini adalah pandemik Covid-19.

AS dan China terlibat dalam sebuah konflik saling menyalahkan. AS menuding China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona baru. Sementara China membantah hal tersebut dan mengatakan AS hanya berusaha untuk menutupi kesalahan penanganan wabahnya.

Ekonomi Goyah

Sebagai raksasa ekonomi dunia, China terlihat gagah perkasa. Namun di dalamnya, ekonomi China pun sudah goyah, utamanya sejak perang dagang dengan AS.

Belum pulih dari serangan perang dagang, ekonomi China juga sudah dihantam dengan pandemik Covid-19. Di mana pemerintahan Xi dengan terpaksa harus menutup kegiatan ekonomi demi menghentikan penyebaran virus.

Goyahnya ekonomi China juga membuat dunia kelimpungan. Saat ini, banyak perusahaan dan negara yang mulai mempertimbangkan untuk memindahkan produksinya dari China ke negara lain. Itu merupakan sebuah ancaman besar bagi China.

Pemindahan produksi artinya lapangan kerja menurun. Lapangan kerja menurun artinya pengangguran meningkat. Pengangguran artinya beban negara.

Gagasan ambisius Xi, Belt and Road Initiatives (BRI) yang seharusnya menguntungkan China juga menjadi bumerang. Pasalnya saat ini banyak negara yang mulai meminta penangguhan hingga pengampunan hutang dari China. Dan mereka adalah negara-negara yang berada dalam BRI.

Pengaruh Yang Mulai Pudar

Pandemik Covid-19 membuat citra China berubah drastis. China dan Xi yang selama ini banyak dielu-elukan mulai dihujani kritikan.

Di dalam negeri, kepemimpinan Xi diuji dengan "ketidakhadirannya" pada awal-awal wabah Covid-19 muncul di Wuhan.

Di luar negeri, China dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab atas munculnya virus corona baru. Meski hanya AS dan sekutunya yang gamblang mengklaim hal tersebut.

Melihat pengaruh China yang mulai pudar, Xi kemudian mempersiapkan sejumlah langkah. Termasuk "Diplomasi Virus Corona", yaitu memberikan bantuan kepada negara-negara yang terdampak wabah.

Miliaran dolar AS digelontorkan China untuk membantu negara-negara terdampak, utamanya negara berkembang dan kurang berkembang. Masker hingga peralatan medis lainnya disumbangkan dan dijual ke negara-negara tersebut. Sayangnya, banyak negara yang mengaku mendapatkan peralatan medis yang catat dari China.

Pengaruh China juga diperburuk dengan tindakan permusuhannya kepada negara-negara lain. Ketika banyak negara mulai mempertanyakan tanggung jawab China tengah pandemik, alih-alih bersimpati, para perwakilan Beijing justru memantik api.

Dengan situasi-situasi tersebut, akankah China berakhir seperti Uni Soviet saat Perang Dingin?

Apalagi saat ini, sudah muncul gelombang separatisme. Di mana Taiwan dan Hong Kong dengan tegas dan keras menyatakan ingin bebas dari China.(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita