GELORA.CO - Kekacauan distribusi sosial (bansos) bagi warga terdampak wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) diakibatkan sedikitnya oleh 6 faktor yang saling bersinggungan.
Demikian dikatakan Koordinator Presidium Relawan Anies-Sandi (PRASS), Sugiyanto, melalui keterangan tertulisnya kepada Kantor Berita RMOLJakarta, Selasa malam (12/5).
Sugiyanto mengatakan, 6 faktor tersebut adalah kordinasi yang buruk antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat, adanya inkonsistensi dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait data penerima bansos yang di-share kepada Pemerintah Pusat, kebijakan ambisius Gubernur Anies Baswedan untuk membantu warganya, sehingga waktu pembagian bantuan tidak pas atau tidak proporsional, dan nilai bantuan yang tidak sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat sehingga menimbulkan kecurigaan para penerima bantuan.
"Berikutnya, penugasan kebijakan pembagian bantuan yang hanya pada satu BUMD serta kinerja pejabat DKI terkait yang tidak kreatif serta asal bapak senang (ABS)," kata Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar) ini.
"Tapi dari keenam faktor itu, pangkalnya adalah koordinasi Pemprov DKI yang buruk dengan Pemerintah Pusat, dan ketidakkonsistenan Anies dalam men-share data penerima bantuan kepada Pemerintah Pusat," sambungnya.
Secara rinci, aktivis yang akrab disapa SGY ini menjelaskan, pada 30 Maret 2020, saat mengikuti rapat terbatas (Ratas) dengan Presiden Jokowi, Anies mengatakan ada 3,7 juta jiwa warga Jakarta yang layak mendapat bansos Covid-19. Mereka terdiri dari 1,1 juta jiwa yang rutin mendapatkan bantuan dari Pemprov DKI, dan 2,6 juta warga rentan miskin karena kehilangan pendapatan akibat pandemi Covid-19.
Saat melakukan jumpa pers bersama Wapres Maruf Amin pada 2 April 2020, Anies kembali menyebutkan angka yang sama. Sehingga disepakati bahwa dari 3,7 juta jiwa tersebut, 1,1 juta jiwa di antaranya diberikan Bansos Covid-19 oleh Pemprov DKI, dan 2,6 juta jiwa oleh Pemerintah Pusat.
"Tapi pada hari yang sama, saat rapat dengan menteri, data yang disampaikan Anies berubah menjadi 1,2 juta KK (kepala keluarga). Dari sinilah mulai timbul masalah, karena perubahan angka ini tidak disertai perubahan data pembagian Bansos oleh Pemprov DKI dengan Pemerintah Pusat, karena pembagian yang didasari perhitungan jumlah jiwa dengan jumlah KK, jelas berbeda," jelas SGY.
Ia mengungkapkan, jika setiap KK di Jakarta diasumsikan terdiri dari 3 orang, maka jumlah warga miskin dan rentan miskin yang layak diberi bansos sekitar 3,7 juta.
Sehingga jika Anies ingin mengubah satuan penghitungan warga yang diberi bansos dari jiwa ke KK, maka share-nya bukan lagi 1,1 juta jiwa untuk Pemprov DKI Jakarta dan 2,6 juta jiwa untuk Pemerintah Pusat. Melainkan di kisaran angka 366 KK untuk Pemprov DKI dan di kisaran angka 886 KK untuk Pemerintah Pusat.
Akibat tidak adanya perubahan data tersebut, Pemprov DKI tetap membagikan bansos Covid-19 kepada 1,2 juta KK, dan Pemerintah Pusat membagikan bansos Covid-19 dengan data yang sama.
Sehingga terjadilah dobel pembagian bansos karena data yang digunakan Pemprov DKI identik dengan data yang diberikan Pemprov DKI kepada dan digunakan Pemerintah Pusat.
"Kesalahan ini berlanjut. Mungkin karena Anies tak ingin melihat warganya menderita, dia juga menentukan skema pembagian yang berbeda dengan Pemerintah Pusat. Yakni dibagikan setiap dua minggu sekali dalam sebulan dengan nilai bantuan Rp 600 ribu untuk setiap pembagian, menjadi dibagikan seminggu sekali dengan nilai pembagian hampir Rp 150 ribu, tepatnya Rp 149.500," terang SGY.
"Akibatnya, ketika warga menerima bantuan dari DKI dan menerima dari Pemerintah Pusat, mereka heran karena nilainya tidak sama, tidak seperti yang diberitakan media. Sehingga muncul kecurigaan dan asumsi macam-macam," imbuhnya.
Celakanya, lanjut dia, tindakan Anies mempercepat pemberian bansos menjadi seminggu sekali, juga menimbulkan masalah. Karena satu-satunya BUMD yang ditugaskan menyediakan dan mendistribusikan bansos, Perumda Pasar Jaya, keteteran akibat banyak jumlah KK yang harus diberi.
Sehingga dalam pembagian yang dilakukan pada 9-25 April itu hanya 98,4 persen yang sudah menerima haknya dari 1,2 juta KK. Sementara 19.200 KK lainnya (1,6 persen) belum menerima.
SGY menilai, kegagalan memenuhi target pendistribusian bansos kepada 1,2 juta KK ini juga diakibatkan oleh ketidakmampuan para pembantu Anies dalam mengikuti irama kerja sang Gubernur yang maju dan progresif.
Seharusnya, kata dia, saat Anies mengatakan bansos akan dibagikan seminggu sekali, mereka langsung melakukan kalkulasi agar Anies tidak kehilangan muka.
"Kalau dari hasil kalkulasi menunjukkan bahwa tak mungkin membagikan 1,2 juta paket bansos dalam seminggu, apalagi yang menyiapkan dan mendistribusikan hanya Pasar Jaya, sampaikan agar dikoreksi. Jangan hanya mengiyakan asal Anies senang, tapi akhirnya keteteran," tegasnya.
SGY juga mengkritik pembelaan Anies bahwa hanya 1,6 persen KK yang dipermasalahkan, sedangkan yang sukses 98,4 persen tidak diberitakan. Karena menurutnya, jumlah 19.200 KK itu banyak.
"Kalau satu KK terdiri dari tiga jiwa, maka yang belum menikmati Bansos Covid-19 dari DKI sebanyak 57.600 jiwa," kata SGY mengingatkan.
SGY menganjurkan Anies kembali duduk bersama dengan Pemerintah Pusat untuk "meluruskan" share data yang bermasalah itu.
Apalagi, berdasarkan evaluasi Pemprov DKI dengan DPRD pada 4 Mei lalu, ada penambahan jumlah KK yang diusulkan untuk menerima bantuan. Mereka berasal dari kalangan pengemudi ojek, nelayan, dan pelaku UKM, yang jumlahnya mencapai 800 KK. Sehingga kini total warga Jakarta yang menerima bantuan sebanyak 2 juta KK.
Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat atas pembagian bansos yang mereka lakukan pada 20 April hingga 5 Mei 2020, ditemukan fakta bahwa hanya ada 947.126 KK di DKI yang menerima bantuan mereka.
"Ini pelajaran berharga buat Anies. Apalagi karena kekacauan pembagian bansos membuat pemerintah melalui menteri-menteri bereaksi keras. Dia dituding ingin lepas tangan karena Pemprov DKI tak punya anggaran lah, inilah, itulah," papar SGY.
SGY pun menyarankan, saat duduk bersama kembali dengan Pemerintah Pusat, tentukan dari 2 juta KK itu berapa KK yang menerima bansos dari DKI, dan berapa KK yang ditanggung Pemerintah Pusat.
"Anies juga jangan hanya menugaskan satu BUMD untuk memberikan bansos yang begitu banyak, dan tentukan skema pemberian bantuan menjadi dua kali seminggu dalam sebulan," pungkas SGY.[rmol]