GELORA.CO - Mata Mohammad Yusuf berkaca-kaca. Dia imam di salah satu kamp pengungsi di Bangladesh, tempat sekitar satu juta warga Muslim Rohingya mengungsi.
Warga Muslim ini melarikan diri dari Myanmar karena tidak tahan penganiayaan dan kekerasan.
Belakangan ratusan pengungsi berangkat dari Bangladesh menuju Malaysia. Namun, ditolak.
Sudah 10 pekan, tiga kapal kayu yang ditumpangi pengungsi Rohingya terkatung-katung di laut. Di perairan pirus, pertemuan Teluk Benggala dengan Laut Andaman.
Mereka dicegah berlabuh di Malaysia, tujuan pilihan mereka. Sementara Bangladesh juga sudah menolak mereka kembali.
Pekan ini, kelompok-kelompok hak asasi mencoba melacak perahu dengan satelit mereka. Diketahui ada tiga kapal yang masing-masing membawa ratusan Muslim Rohingya.
"Saya merasa ingin menangis, menyadari situasi saudara-saudari saya yang masih mengapung di laut dalam," kata Mohammad Yusuf.
Pemerintah Bangladesh menolak menerima mereka. Alasannya, mereka telah menampung banyak warga Rohingya dan menanggung beban yang lebih besar dibanding negara lain.
Sementara Malaysia tidak mengizinkan kapal-kapal berlabuh di tengah-tengah lockdown. Kapal-kapal itu akhirnya bingung harus ke mana.
"Bangladesh telah memikul tanggung jawab yang sangat berat bagi para pengungsi Rohingya dan tidak boleh dibiarkan sendirian untuk menghadapi tantangan-tantangan ini," kata Steven Corliss, perwakilan badan pengungsi PBB di Bangladesh.
"Tapi memalingkan orang yang putus asa tidak bisa menjadi jawabannya," lanjutnya.
Hasil mematikan penolakan semacam itu menjadi jelas pada 15 April ketika kapal Rohingya lain yang telah dicegah untuk berlabuh di Malaysia diselamatkan oleh penjaga pantai Bangladesh.
Hampir 400 orang kekurangan gizi dan mengalami dehidrasi. Banyak dari mereka adalah anak-anak, muncul dari ruang tahanan, tempat mereka ditahan oleh pedagang manusia.
Badan pengungsi PBB, yang menilai kondisi para pengungsi, tidak menghitung berapa banyak Rohingya yang tewas dalam perjalanan itu. Mereka yang meninggal langsung dibuang ke laut. []