GELORA.CO - Pembebasan puluhan ribu narapidana (Napi) lewat asimilasi sudah dilakukan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, dengan alasan pencegahan penyebaran virus corona baru atau Covid-19 kini menuai kritik.
Kebijakan ini kembali dipertanyakan urgensivitasnya oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin.
Pasalnya, Ujang menilai tingkat kriminalitas meningkat beberapa waktu ke belakang ini. Karena itu, dia menganggap asimilasi banyak merugikan masyarakat, di tengah bencana non alam saat ini.
"Pemerintah dalam dilema. Napi tidak dikeluarkan, ada bahaya corona. Tapi ketika dikeluarkan sangat berbahaya karena masyarakat ketakutan dan kejahatan meningkat, rugi rakyat," ucap Ujang Komarudin saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (6/5).
"Jangan sampai masyarakat selamat dari corona. Tapi tidak selamat dari pembegalan dan perampokan," sambungnya.
Dari sisi Napi, Direktur Indonesia Political Review (IPR) ini menilai, para napi yang keluar dari hasil asimilasi tak punya pekerjaan. Tapi di sisi yang lain mereka beruntung bisa mencari pekerjaan ketika keluar.
"Tapi hanya ada dua pilihan bagi mereka. Bertaubat ke jalan kebenaran, atau nyari makan dengan melakukan perbuatan kriminal. Seperti menjambret, membegal, merampok, dan lain-lain," sebut Ujang Komarudin.
Terlebih lagi, lanjut Ujang, jika melihat dari sisi pemerintah. Menurutnya pemerintah sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari program asimilasi ini.
Sebaliknya, pemerintah justru buntung karena kepercayaan masyarakat mulai tergerus.
Program asimilasi napi tersebut tak menguntungkan pemerintah. Dan sudah pasti menggerus kepercayaan masyarakat ke pemerintah," tuturnya.
"Apalagi kita tahu, Menkumham sering membuat kebijakan-kebijakan yang kontroversial sebelum-sebelumnya. Merugi iya," demikian Ujang Komarudin. (Rmol)