Oleh:Yusdiyanto
SEJAK diumumkan Presiden Jokowi pertama kali Covid-19 sampai di Indonesia awal Maret lalu (Senin, 2/3), Kemenkes RI mencatat sudah 10.551 kasus terkonfirmasi positif, 800 meninggal, dan 1.591 sembuh per 2 Mei 2020 (https://covid19.kemkes.go.id/).
Di Provinsi Lampung, kasus terkonfirmasi positif Covif-19, 50 orang, meninggal dunia 5 orang, sembuh 13 orang. Kemenkes RI juga sudah menetapkan Kota Bandarlampung zona merah (red zone) Covid-19, Selasa (27/4).
Akibat penyebaran Covid-19 yang begitu cepat, masyarakat panik. Semua aktivitas warga langsung terhenti: pendidikan, keagamaan, jasa, produksi, pemerintahan, dll.
Selain itu, sifat Covid-19 yang tidak kasat mata dan penyebarannya yang sangat masif membuat sebagian besar orang takut terpapar bahkan menjadi paranoid.
Anjuran pemerintah melakukan social and physical distancing guna memutus rantai penyebaran pandemi ini, malah makin banyak orang yang kian takut untuk berinteraksi secara langsung di luar rumah, termasuk tetangga bahkan dengan keluarganya.
Dari hari ke hari, pasien Covid-19 kian meningkat dan meluas akibat transmisi lokal yang tidak dapat dihindari lagi di Provinsi Lampung.
Sebelum dikeluarkan kebijakan larangan mudik, Lampung telah kedatangan para pemudik yang cukup banyak. Potensi masyarakat terpapar Covid-19 makin besar, tak diketahui lagi siapa yang telah terpapar dan belum.
Pemerintah Pusat makin serius dan sungguh-sungguh menanggulangi penyebaran Covid-19 sebagai bencana non-alam melalui berbagai macam protokol kesehatan Covid-19, regulasi, dan guideline penanganan atas dampaknya.
Namun, anehnya, di Lampung, tanggung jawab penanggulangan Covid-19 masih berlangsung formalitas, parsial, ngeyel, lamban selebihnya auto pilot.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 10/KM.7/2020 tentang Sanksi Penundaan 35 persen DAU dan/atau DBH TA 2020 Provinsi Lampung merupakan fakta yang tidak dapat dibantah lagi soal rendahnya komitmen pemerintah daerah ini dalam pemberantasan Covid-19.
Kehendak penanganan bencana non-alam antara provinsi dan kabupaten/kota secara terkoordinir, terpadu, cepat dan tepat tidak dapat ditunda dan harus segera dilakukan.
Komitmen, ketegasan, sampai keseriusan pemerintah daerah patut dipertanyakan dan diminta pertanggungjawaban.
Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban menegaskan tentang kewajiban mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak serta menegaskan kewajiban-kewajiban paling minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada.
Pertanggungjawaban menekankan pada peran pemerintah sebagai bagian dari organ politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.
Termasuk mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak rakyat.
Peran pemerintah menjadi vital, bukan soal mengambil tindakan tertentu (by commission), tetapi pemerintah bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran dan pengabaian hak warga negara. Atau bila pemerintah tidak sama sekali mengambil tindakan apapun (by omission).
UUD 1945 telah meletakkan tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.
Instrumentasi tersebut selaras dengan pasal 2 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 yaitu: konsepsi achieving progressively the full realization’ dan by all appropriate means including particularly the adoption of legislative measures.
Tanggung Jawab Hak Kesehatan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 telah memberikan legitimasi kepada negara dalam hal ini pemerintah sebagai pihak yang dapat mengambil langkah-langkah tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak masyarakat termasuk hak kesehatan.
Wabah Covid-19 adalah ujian yang sesungguhnya bagi pemimpin daerah, baik itu gubernur, wali kota/bupati dalam melaksanakan sumpah jabatan sebagai kepala daerah.
Disinilah terlihat dimana kepala daerah yang benar-benar mewakafkan dirinya dan jabatannya untuk rakyat, dimana kepala daerah yang terpilih karena hasil money politik dan dalam kinerjanya berbuat modus, amarah dan penuh akal bulus.
Bila mereka tidak mampu melalui ujian (Covid-19) ini, saya berkeyakinan, tidak ada kesempatan kedua (baca: gubernur/bupati/walikota) untuk terpilih kembali menjadi kepala daerah.
Istilahnya urusan Covid-19 saja mereka bekerja di ruang gelap atau bahkan mencuri ikan dengan memanfaatkan situasi Covid-19, bagaimana rakyat mau percaya kembali?
Dalam hal ini, perlu dingatkan dan dipertegas bahwa pemerintah daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dilekatkan tangungjawab melindungi seluruh masyarakat yang ada di wilayah teritorialnya dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan atas bencana nonalam yang kini sedang terjadi.
Bila ada satu saja ada masyarakat yang terpapar Covid-19 atau bahkan meninggal dunia merupakan tanggungjawab utuh kepala daerah.
Karena hak kesehatan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan, dikurangi, ataupun dirampas oleh siapapun sekalipun itu oleh negara.
Tanggung Jawab Provinsi Lemah
Dalam penyelenggaraan penanggulangan Covid-19, Pemerintah Provinsi memiliki wewenang berupa:
(1). Penetapan kebijakan penanggulangan bencana non-alam Covid-19 yang selaras dengan kebijakan Pusat;
(2). Pelaksanaan kebijakan penanggulangan Covid-19 antara provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota lain;
(3). Kebijakan bersama jaringan pengaman sosial.
Tanggung jawab pemerintah provinsi dalam penanggulangan wabah Covid-19 ini meliputi:
(a). Alokasi anggaran APBD mencapai 50%, (b). Penjaminan pemenuhan hak masyarakat baik yang terpapar Covid-19 dan terdampak,
(c). Perlindungan masyarakat.
Hemat penulis, dari ketiga tanggung jawab tersebut, silahkan publik menilai sudahkah benar-benar Pemprov Lampung bertanggungjawab melaksanakan hal tesebut?
Kita berharap komunikasi antara kepala daerah kepada rakyat sebagai pemilih menjadi hal wajib yang patut dilaksanakan dalam usaha pengatasi pandemi Covid-19.
Anggaran Merah Covid-19
Memperhatikan Surat Gubernur Lampung Nomor 900/1210/VI.01/2020 perihal Laporan Alokasi APBD Provinsi Lampung TA 2020 untuk Penanganan COVID-19, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Cq. Dirjen Bina Keuangan Daerah, tanggal 08 April 2020.
Pemerintah Provinsi Lampung telah mengalokasikan dana sebesar Rp. 246.406.769.023,- (dua ratus empat puluh enam milyar seratus tujuh puluh juta enam ratus lima puluh Sembilan ribu lima ratus empat puluh empat rupiah).
Postur anggaran dari hasil rasionalisasi anggaran APBD TA 2020, difocuskan pada pada:
(a) Penanganan Bidang Kesehatan sebesar: Rp. 181.396.200.000,
(b) Penanganan Dampak Ekonomi sebesar: Rp. 26.901.150.000,
(c) Penanganan social safety net (jaringan pengaman sosial) sebesar: 17.702.650.000,-
Dari skema anggaran tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung hanya fokus pada anggaran penanganan bidang kesehatan, sementara berdasarkan Permendagri No. 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah, refocushing anggaran juga difokuskan pada alokasi anggaran untuk program jaring pengaman sosial dan refocusing terhadap kegiatan yang sudah ada di Perangkat Daerah (PD) dengan melakukan perubahan terhadap sasaran kegiatan yang diarahkan sebagai stimulan perekonomian masyarakat.
Dari hal ini terlihat Pemprov belum secara serius melakukan rasionalisasi anggaran tahun anggaran berjalan; dan/atau memanfaatkan uang kas yang tersedia untuk Covid-19.
Sementara pelbagai gejala sosial sudah semakin terjadi seperti melemahnya daya beli masyarakat, pengangguran meningkat akibat PHK, kriminalitas, produksi menurun dan kebutuhan pangan masyarakat yang kritis.
Jadi wajar saja bila Pemerintah Pusat melalui Kementrian Keuangan memberikan sanksi penundaan anggaran DAU dan DBH sebesar 35 persen.
Kehendak penjaminan dan perlindungan hak bidang kesehatan dalam penanganan Covid-19 perlu segera dilakukan, dengan mendorong program berupa:
(a). Strategi Pencegahan Penyebaran Penularan Cavid-19,
(b). Peningkatan Kapasitas Sistem Kesehatan,
(c). Peningkatan Ketahanan Pangan dan Alkes,
(d). Memperkuat Jaring Pengaman Sosial Nasional dengan memberikan stimulus ekonomi berupa bantuan langsung dan tidak langsung yang tidak tercover bantuan pemerintah pusat.
Terakhir
Sampai kapan pandemi ini akan berlangsung, tampaknya sulit diprediksi, karena banyak faktor yang mempengaruhi penyebarannya.
Untuk itu, nilai gotong royong sebagai jati diri bangsa yang telah terabaikan karena sikap egoisme perlu dibangun kembali.
Disamping itu, sebelum vaksin-19 ditemukan, tanggung jawab pemprov sebagai wakil pusat di daerah dalam hal pencegahan, penindakan dan jaring pengaman sosial yang tidak dicover oleh pemerintah pusat patut dinanti dan jangan diam saja.
(Penulis adakah Dosen HTN Fakultas Hukum Unila)