Oleh: Marwan Batubara
DALAM 2 bulan berturut-turut Pemerintah menetapkan harga BBM tidak turun. Berbagai hal jadi alasan. Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR mengatakan harga BBM tidak turun karena harga minyak dunia belum stabil, berpotensi turun atau naik (4/5/2020). Pemerintah terus memantau dampak pemotongan produksi OPEC+ (OPEC dan Non-OPEC) dari Mei 2020, Desember 2020 hingga Januari 2021.Menurut Arifin, harga BBM di Indonesia salah satu termurah di ASEAN dan dunia. Karena itu Arifin menganggap pemerintah tidak merasa perlu menurunkan harga BBM. Kata Arifin: “Kan harga BBM Indonesia sudah termasuk salah satu yang termurah di Asean” (4/5/2020).
Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengatakan harga belum turun karena Pertamina tak bisa memangkas belanja modal dan operasi. Biaya produksi dalam negeri lebih mahal dibanding di luar (21/4/2020). Biaya produksi minyak Pertamina lebih tinggi 25% dibanding harga minyak dunia. Pertamina harus menyerap 100% produksi domestik untuk mengurangi impor. Jika Pertamina stop membeli crude domestik, maka kegiatan KKKS bisa berhenti, dan menimbulkan efek negatif terhadap bisnis migas nasional, termasuk adanya PHK.
Kata Nicke, penyesuaian harga akan mudah jika Pertamina trading company. Ketika harga beli murah, maka BBM bisa langsung dijual murah. Namun karena mengoperasikan kilang berbiaya produksi lebih mahal, maka harga jual BBM tidak bisa otomatis turun. Disebutkan harga impor BBM US$22,5 per barel sementara harga beli crude Maret 2020, US$24 per barel.
Karena pandemi korona kata Nicke penjualan BBM turun 50% dibanding rata-rata harian. Pertamina berpotensi kehilangan keuntungan hingga 51% persen atau sekitar US$1,12 miliar dari rencana kerja dan anggaran 2020. Target laba 2020 US$2,2 miliar dan pendapatan US$58,33 miliar. Selain itu profit bakal tergerus pula oleh selisih kurs.
Terlepas apapun alasan Arifin dan Nicke, faktanya pemerintah mempunyai aturan main tentang harga jual BBM, yaitu puluhan Perpres, Permen ESDM dan Kepmen ESDM, yang terbit 2104 –2020. Perpres dimaksud adalah: No.191/2014 dan No.43/2018. Sedang Permen turunan Perpres adalah No.39/2014, No.4/2015, No.39/2015, No.27/2016, No.21/2018, No.34/2018 dan No.40/2018. Sedangkan Kepmen turunan Perpres: No.19K/2019, No.62K/2019, No.187/2019, No.62K/2020 dan No.83K/2020.
Hal-hal prinsip dari berbagai peraturan di atas adalah bahwa harga BBM terutama berubah karena perubahan harga minyak dunia dan kurs Rp terhadap USD. Formula BBM merujuk harga BBM di Singapore (Mean of Platts Singapore, MOPS) atau Argus periode tanggal 25 pada 2 bulan sebelumnya, sampai dengan tanggal 24 satu bulan sebelumnya, untuk penetapan bulan berjalan. Misalnya sesuai Kepmen ESDM No.62K/2020, formula harga jenis Bensin di bawah RON 95, Bensin RON 98, dan Minyak Solar CN 51, adalah: MOPS atau Argus + Rp 1800/liter + Margin (10% dari harga dasar).
Sebagai contoh, dengan formula di atas, sesuai MOPS rata-rata 25 Februari s.d 24 Maret 2020 dan kurs USD 15.300, maka diperoleh harga BBM yang berlaku 1 April 2020 untuk jenis Pertamax RON 92 sekitar Rp 5500 dan Pertalite RON 90 sekitar Rp 5250 per liter.
Faktanya harga resmi BBM di SPBU masing-masing adalah Rp 9000 dan Rp 7650. Dengan demikian, jika dibanding harga sesuai formula, maka konsumen BBM Pertamax membayar lebih mahal Rp 2000 - Rp 3500 per liter. Hal sama juga terjadi untuk BBM Tertentu (solar) dan Khusus Penugasan (Premium), namun dengan nilai kemahalan sekitar Rp 1250-1500 per liter. Untuk semua jenis BBM rerata nilai kemahalan diasumsikan Rp 2000 per liter.
Untuk harga BBM yang mulai berlaku 1 Mei 2020, nilai MOPS rata-rata 25 Maret sampai dengan 24 April 2020 dan kurs USD lebih rendah dibanding April. Karena itu diasumsikan konsumen semua jenis BBM secara rerata membayar lebih mahal sekitar Rp 2500 per liter.
Jika selama pandemi korona konsumsi BBM untuk semua jenis BBM diasumsikan sekitar 100.000 kilo liter per hari, maka nilai kelebihan bayar untuk bulan April 2020 adalah 100.000 kl x 30 hari x Rp 2000 = Rp 6 triliun. Untuk bulan Mei 2020, nilai kelebihan bayar adalah 100.000 kl x 31 x Rp 2500 = Rp 7,75 triliun. Sehingga selama April dan Mei 2020, konsumen BBM Indonesia diperkirakan membayar lebih mahal sekitar Rp 13,75 triliun.
Sebagian rakyat mungkin mampu membayar harga BBM sesuai ketetapan pemerintah. Harga BBM di Indonesia mungkin juga relatif lebih murah di banding harga BBM di negara lain dan juga sudah cukup rendah di banding harga produk-barang lain, sehingga tidak turunnya harga BBM April dan Mei 2020 dapat dimaklumi. Namun karena berbagai alasan di bawah ini rakyat harus menggugat pemerintah dan menuntut ganti sebesar Rp 13,75 triliun di atas.
Pertama, pemerintah telah menetapkan formula harga BBM, dan untuk BBM umum telah diterapkan secara rutin setiap bulan sejak 2014. Jika formula tidak diterapkan pada April dan Mei 2020, walau Menteri ESDM dan Dirut Pertamina memiliki 1000 alasan sekalipun, maka hal tersebut tetap saja pelanggaran sangat nyata terhadap peraturan yang harus dipertanggungjawabkan.
Kedua, penyebab utama keuangan Pertamina bermasalah berpotensi gagal bayar adalah pemerintah yang bertindak melanggar berbagai aturan demi pencitraan politik sempit. Harga BBM tidak disesuaikan sesuai formula Perpres/Pemen sejak April 2016 hingga Desember 2019. Demi pencitraan politik Jokowi ini Pertamina menanggung beban subsidi sekitar Rp 80 triliun. Meskipun kelak beban tersebut akan dibayar pemerintah, namun jadwalnya tidak jelas.
Ketiga, akibat kebijakan populis pemerintah, Pertamina juga menanggung utang obligasi minimal US$ 12,5 miliar yang harus dibayar bunga/kuponnya sekitar Rp 10 triliun per tahun.
Keempat, Pertamina harus membeli crude produksi dalam negeri dengan harga berdasar formula Indonesia Crude Price (ICP) bernuansa moral hazard, karena lebih mahal sekitar US$ 13-15 per barel (Duri) dan US$ 8-9 per barel. Harga yang lebih mahal ini menjadi beban tambahan bagi Pertamina.
Kelima, keuangan Pertamina juga dibebani kebijakan yang melanggar aturan dan public service obligation (PSO) yang seharusnya ditanggung pemerintah tapi tidak tersedia di ABPN. Kebijakan tersebut antara lain signature bonus Blok Rokan, BBM satu harga, over quota LPG 3kg, dan lain-lain.
Sebagai rangkuman, apapun alasannya harga BBM bulan Mei 2020 harus turun karena peraturan formula harga BBM masih berlaku. Jika kondisi keuangan Pertamina bermasalah, maka bukan konsumen BBM yang harus menanggung, karena masalah timbul akibat ulah Presiden dan seluruh jajaran terkait yang menyeleweng! Pelaku penyelewengan tersebut justru harus diproses hukum, bukan malah meminta rakyat ikut menanggung dampak perbuatannya!
Pelanggaran peraturan oleh pemerintah tampaknya sudah merupakan hal yang biasa terjadi dalam 4-5 tahun terakhir. Pelanggaran semakin marak karena pengawasan dan penegakan hukum oleh lembaga terkait juga tidak berfungsi optimal, terutama oleh DPR sebagai wakil rakyat, yang berubah menjadi bagian dari pemerintah. Tak heran kalau mantan napi terduga koruptor yang harusnya diproses hukum pun, malah diangkat menjadi Komut Pertamina.
Namun, terlepas dari hal di atas, kita tetap perlu mengingatkan agar negara dijalankan berdasar hukum dan aturan, serta bebas dari sikap semau gue. Pemerintah memang berkuasa dan rakyat tidak berdaya. Tetapi sebagai ummat beragama sesuai Pancasila (kecuali bagi PKI), ingatlah bahwa ada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mari hormati hukum dan ikut aturan main.
Demi kepentingan bersama, harga BBM tidak harus rendah, tetapi perlu diatur pada pita/ band harga tertentu (misalnya Rp 8000 – Rp 14000), sehingga energi tersedia berkelanjutan, ketahanan energi meningkat dan defisit neraca perdagangan/neraca transaksi berjalan tetap rendah. Untuk itu antara lain perlu diterapkan sistem subsidi tepat sasaran, pengembangan EBT terintegrasi energi fosil, pajak lingkungan untuk EBT, skema dana stabilisasi harga BBM, skema dana migas, dll. Hal ini harus menjadi konsensus nasional dan dituangkan dalam suatu peraturan.
Sebelum peraturan terbentuk, kembali ke isi di awal tulisan, jalankanlah peraturan yang berlaku, dan proses hukumlah para penyeleweng. Berhentilah bersikap sontoloyo semau gue. Rakyat berhak menuntut ganti rugi sekitar Rp 13,75 triliun, dan hal itu dapat dilakukan melalui proses citizen law suit.
(Penulis adalah Peneliti pada Indonesian Resources Studies (IRESS)