GELORA.CO - Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Anton Tabah Digdoyo, mengatakan, berbuat baik dengan cara yang tidak tepat akan bermasalah.
Contoh memberi nasi bungkus gratis pada umat Islam dengan bertuliskan 'nasi anjing' jelas tidak tepat," ujar Anton Tabah saat dihubungi redaksi, Jumat (1/5).
Beberapa hari yang lalu masyarakat Jakarta dihebohkan dengan kemunculan nasi bungkus bernama 'Nasi Anjing'. Nasi bungkus tersebut pertama kali dibagikan oleh sebuah komunitas kristiani ARK QAHAL di sekitar masjid di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pada bungkusan nasi terdapat logo kepala anjing dengan tulisan berwarna biru yang bertuliskan, 'Nasi Anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing, #JakartaTahanBanting'.
Tentu saja, itu membuat resah masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang merasa dilecehkan dengan pemberian nasi bungkus bertuliskan 'Nasi Anjing'. Mereka berasumsi bahwa nasi bungkus itu haram karena memakai nama anjing, hewan yang diharamkan oleh Islam.
Namun setelah diselidiki, polisi mengatakan bahwa kejadian ini hanya kesalahpahaman. Bahan-bahan yang digunakan pada nasi bungkus tersebut merupakan yang halal, yaitu cumi, sosis sapi, teri, dan lain-lain.
Tapi seperti yang dijelaskan Anton Tabah, berbuat baik dengan cara yang tidak tepat akan bermasalah. Menurutnya, kejadian ini bisa dijerat dengan UU 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a dan 157.
Sebagai senior Polri, Anton Tabah berterimakasih pada umat Islam yang tetap sabar menghadapi ujian berat itu dan milih jalur hukum.
Kamis kemarin (30/4), sudah viral di media sosial, masyarakat diwakili tokoh emak-emak Rina Triningsih didampingi sekitar 30 pakar hukum melaporkan kaksus ini ke Polda Metro Jaya. Polisi juga telah meregritasi laporan tersebut dengan nomor LP/2.576/IV/YAN/2,5/2020/SPKT/PMJ.
Mantan petinggi Polri yang juga Ketua Penanggulangan Penodaan Agama ini minta Polda Metro Jaya segera proses kasus ini, apalagi berdasar UU tadi ini termasuk crime indexs yang memiliki derajat keresahan tinggi di masyarakat.
Pesan Anton Tabah, hendaknya kejadian ini jadi pelajaran bagi masyarakat bahwa berbuat baik harus dengan niat atau cara yang baik pula. Bahasa, budaya, dan agama masyarakat yang akan dibantu harus diperhatikan.
Dia menjelaskan, secara budaya, anjing pada mayoritas rakyat Indonesia adalah ikon negatif, yang sering dipakai sebagai kata kotor (umpatan) ketika marah. Secara agama apalagi, haram dikonsumsi bagi umat Islam yang mayoritas.
"Perhatian terhadap bahasa, budaya, dan agama pun berlaku dalam bisnis. Anda tak bisa jualan babi guling di Mekah atau Madinah. Juga Jepang, tak bisa ekspor mobil Kijang Innova ke Afrika. Karena bahasa Afrika, Innova itu mogok. Mana mungkin anda tawarkan mobil mogok?" pungkas Anton Tabah. (Rmol)