Oleh : Radhar Tribaskoro
LUHUT Binsar Panjaitan mantan jenderal Kopassus dan sekarang Menko Maritim dan Investasi tidak pernah lepas dari kontroversi. Setelah perseteruannya dengan Said Didu, ia menimba kecaman gencar.
LBP, demikian Luhut biasa disebut orang, dituduh pengkhianat di media sosial karena sementara wabah corona mem-PHK jutaan pekerja Indonesia ia mengantarkan kedatangan 49 orang TKA Cina ke Konawe.
Tidak hanya itu, LBP sekarang bertabrakan dengan Gubernur Ali Mazi, DPRD Sulawesi Tenggara dan Bupati Konawe setelah berencana mempersilakan kedatangan 500 TKA Cina ke wilayah itu.
Apa alasan LBP menggelar karpet merah untuk TKA Cina?
Dalam pernyataannya Luhut meragukan kapasitas pekerja Indonesia. Hal ini menarik buat saya. Saya catat sedikitnya 2 point argumen Luhut. Pertama, "SDM lokal tidak siap bersaing dengan TKA Cina." Dan kedua, "Keahlian pekerja lokal belum cukup dukung projek milyaran dollar."
Saya percaya bahwa kedua argumen itu sebetulnya palsu. Alasan sesungguhnya penggunaan TKA Cina adalah karena setiap projek yang mendapat dukungan keuangan dari Pemerintah Cina (yang disalurkan melalui perusahaan Cina) mesti menggunakan perusahaan, teknologi, raw material dan pekerja dari Cina. Itulah yang disebut dengan projek turn-key. Indonesia terima bersih projek sudah jadi. Di dalam proses perwujudan projek itu tidak ada nilai tambah didapatkan oleh Indonesia.
Walau begitu, kedua argumen palsu itu akan saya jawab juga. Bila seorang Menko menyampaikan argumen walau palsu tetap harus ditanggapi dengan serius.
Indonesia Bejibun Industri Smelter
Dalam menyusun artikel ini saya bertanya kepada seorang teman yang puluhan tahun berkecimpung di industri kelistrikan. Ia telah terlibat dalam pembangunan projek infrastruktur, gedung-gedung pencakar langit, pembangkit listrik di berbagai skala maupun sumber energi. Beberapa teman lagi memberi masukan tentang pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya dan membutuhkan profesionalitas tinggi.
Menurut mereka tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang Indonesia. Pekerja Indonesia terkenal sangat berdedikasi, berani dan mau digaji rendah. Pekerja tambang (miner) adalah pekerjaan yang berat dan berbahaya.
Ribuan pekerja tambang di Indonesia bekerja dengan gaji Rp 5 juta/bulan. Bandingkan dengan pekerja tambang Australia yang memperoleh minimum Rp 100 juta/bulan. Penyelam mutiara juga pekerjaan berbahaya, perbandingan penghasilan mereka tidak berbeda dengan pekerja tambang.
Anda bisa tambahkan hal itu untuk tukang las bawah laut, pembongkar kapal, teknisi menara Sutet, pekerja konstruksi gedung pencakar langit, dsb.
Mereka melakukan pekerjaan dengan kualitas sama namun dengan bayaran seperduapuluh bahkan sepertigapuluh pekerja asing. Jadi sila bayangkan opportunity cost yang hilang: seorang TKA sebetulnya menggantikan pekerjaan 20-30 orang pekerja lokal.
Industri smelter seperti dibangun di Konawe, perlu anda ketahui, bukanlah industri dengan teknologi tinggi-tinggi amat. Puluhan tahun lalu, tepatnya tahun 1976 di jaman Orde Baru, sebuah smelter alumunium berdiri di Kuala Tanjung-Sumatera Utara. Perusahaan itu sekarang bernama PT. Inalum, sepenuhnya dikelola oleh tenaga Indonesia.
Lalu lebih dua dasawarsa lalu (1996) PT. Smelting mendirikan smelter di Gresik untuk melebur dan memurnikan tembaga dari tambang Freeport. Ringkasnya, teknologi smelter sama sekali tidak asing bagi pekerja-pekerja Indonesia.
Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa di Indonesia bejibun industri smelter. Smelter nikel seperti di Konawe itu saja ada 31 pabrik. Sampai tahun 2022 pemerintah memperkirakan 51 smelter beroperasi untuk melebur aneka mineral.
Maka aneh kenapa hanya PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe itu saja yang bermasalah dengan tenaga kerja? Kenapa untuk masalah tenaga kerja, yang saya yakin bisa dicari di dalam negeri, Menko Luhut harus mengabaikan psikologi dan keprihatinan rakyat dan para penganggur yang melonjak?
Kapasitas Pekerja Indonesia
Insinyur-insinyur Indonesia telah membuktikan bahwa mereka bisa mengoperasikan industri-industri, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian minor. Di masa lalu ketika Jepang aktif membangun industri di Indonesia, insinyur-insinyur Indonesia dikirim ke Jepang dua minggu untuk bisa mengoperasikan mesin-mesin industri.
Tidak ada yang terlalu sulit karena mereka telah menguasai basic technology/knowledge. Masalah terutama bagi insinyur Indonesai adalah bahasa (Jepang), banyak manual masih berbahasa sono. Situasi teknologi Cina saya kira tidak jauh berbeda dengan Jepang.
Pekerjaan yang berbahaya dan membutuhkan ketrampilan tinggi, saya telah uraikan di atas, tersedia cukup banyak di Indonesia.
Bagaimana dengan kemampuan manajemen pekerja kita? Saya sedih sekali mendengar seorang Menko melecehkan bangsanya sendiri, katanya mereka '...belum bisa mengelola projek milyaran dollar.'
Investasi PT. Virtue Dragon di Konawe diperkirakan antara USD 1 sampai 1,4B (sekitar Rp 15 sampai 22T). Apakah tidak ada perusahaan senilai itu di Indonesia? Pada tahun 2016 Bumi Resource memiliki aset Rp 42T; aset PT. Inalum USD 11.8B; sedangkan aset Tokopedia diperkirakan sekitar USD 7B.
Projek di Indonesia dengan nilai diatas USD 1B saya kira tidak sedikit. Satu contoh saja adalah projek PLTU Suralaya Banten, 4000MW, memiliki nilai investasi USD 5B.
Artinya, sudah sejak lama pekerja-pekerja Indonesia memiliki kapasitas untuk mengelola perusahaan atau projek jauh di atas USD 1B.
Kesimpulannya, rakyat sudah cape, sangat cape. Rakyat lelah karena terus dipermainkan oleh elit-elitnya. Elit-elit berbohong dan melemparkan pesan-pesan palsu ke publik, sementara dibalik tabir terjadi transaksi-transaksi yang merugikan rakyat.
(Bandung Initiatives)