GELORA.CO - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan melindungi anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera China, Long Xing. Kapal Long Xing diduga memperbudak dan melanggar HAM yang menyebabkan tiga WNI yang menjadi ABK meninggal dunia dan jenazahnya dilarung ke laut beberapa bulan terakhir.
Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan pihaknya akan melakukan tindakan proaktif dalam kasus ini, di antaranya menjembut mereka yang selamat setelah dipulangkan ke Indonesia.
LPSK siap bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada ABK WNI yang mengalami peristiwa nahas ini. Mulai dari proses pemulangannya hingga pendampingan proses hukumnya nanti.
Menurut Hasto, tragedi yang dialami 18 WNI yang menjadi ABK di kapal China itu jelas menunjukkan indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dia berharap kepolisian menelusuri pihak atau perusahaan yang merekrut dan menyalurkan para ABK ke kapal China itu serta mengambil tindakan tegas bila terbukti ada pelanggaran.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, kasus TPPO yang dialami WNI yang bekerja sebagai ABK di kapal berbendera asing bukan kali pertama terjadi. Selain kasus di Benjina, LPSK pernah mengungkap beberapa kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan yang terjadi pada ABK di kapal Long Xing, di antaranya kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan, dan Belanda.
Berdasarkan catatan akhir tahun LPSK tahun 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat.
“Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019,” kata Edwin
Sesuai pengalaman LPSK menginvestigasi kasus TPPO, khususnya pada sektor kelautan dan perikanan, ditemukan fakta banyak perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para korban.
Biasanya korban mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, tindakan kekerasan dan penganiayaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.
“Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan air minum yang layak: mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air [buangan] AC,” katanya. (*)