Dalimunthe and Tampubolon Lawyers (DNT) selaku pengacara 14 ABK Long Xing 629 menyebut informasi ini didapatkan setelah Advocates For Public Interest Law (APIL) Korea Selatan melakukan wawancara dengan para ABK saat menjalani masa karantina di Korea Selatan.
DNT mengungkapkan, beberapa kontrak yang janggal adalah seperti jam kerja tak terbatas hanya ditentukan kapten kapal, tak boleh protes soal makanan meski haram bagi agamanya dan tidak boleh menentangnya. Bahkan ABK Indonesia juga tak boleh kabur dari kapal.
"Kontrak kerja (Perjanjian Kerja Laut) memuat unsur yang membuat ABK berada dalam kondisi rentan," ujar DNT dalam keterangan tertulis yang dikutip suara.com, Senin (11/5/2020).
Tak hanya itu, para ABK juga disebutnya sudah melihat kejanggalan dari bendera kapal. Bendera yang terpasang adalah bendera China, padahal dalam kontrak yang tertulis, bendera yang dipasang adalah Korea Selatan.
"Kontrak kerja memuat informasi yang tidak benar, seperti misalnya dalam kontrak disebut kapal berbendera Korea Selatan, nyatanya kapal berbendera Tiongkok," kata DNT.
Gaji yang diberikan kepada para WNI itu juga disebutnya tak sesuai kontrak. Alasannya, ada masalah administrasi yang membuat gaji harus dipangkas.
"Ada ABK yang hanya mendapatkan USD 120 atau Rp 1,7 juta setelah bekerja selama 13 bulan. Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum 300 USD setiap bulan," katanya.
Ia juga menyebut ada dua orang ABK WNI yang harus menerima kekerasan fisik dari kapten kapal. Kendati demikian, para ABK tidak bisa melapor.
Sebab, kapal disebutnya selama 13, bulan tak pernah berlabuh sama sekali. Ia menduga tujuannya untuk menghindari pemeriksaan petugas di pelabuhan karena dugaan aktifitas ilegal yang dilakukan oleh kapal Long Xing 629.
"Juga diduga untuk membatasi akses ABK untuk dapat mengadu ke pihak lain tentang kondisi tidak manusiawi diatas kapal," katanya.[sc]