GELORA.CO - Pemeriksaan dugaan kasus perdagangan orang dan perbudakan anak buah kapal (ABK) WNI di kapal ikan Tiongkok Long Xing berlanjut. Bareskrim Polri sedang memeriksa PT APJ selaku pihak pemberangkat sebagian WNI yang menjadi ABK. Setelah gelar perkara, akan diketahui apakah kasus layak naik status dari penyelidikan ke penyidikan.
Dirtipidum Bareskrim Brigjen Ferdy Sambo menjelaskan, PT APJ memberangkatkan delapan orang yang kemudian jadi ABK Kapal Long Xing. “Pemeriksaan dilakukan hari ini,” paparnya, Selasa (12/5) kemarin.
Dari delapan WNI yang diberangkatkan PT APJ, lima diantaranya telah pulang ke Indonesia, dua orang masih berlayar dan satu orang meninggal dunia. “Satu yang meninggal itu yang dilarung ke laut,” tuturnya.
Tidak hanya agen pemberangkatan, penyidik juga memeriksa petugas Kantor Imigrasi Tanjung Priok dan Pemalang. Sebab, 10 paspor dikeluarkan oleh kedua kantor Iimigrasi tersebut. “Akan dicek datanya dan legalitasnya,” papar Ferdy.
Pemeriksaan terhadap kantor Imigrasi Pemalang dilakukan secara virtual. Dia mengatakan, untuk kantor Imigrasi Tanjung Priok, petugas mendatangi kantornya. Semua hasil pemeriksaan akan menentukan untuk kasus tersebut. “Tunggu hasilnya,” paparnya.
Setelah semuanya selesai, penyidik akan melakukan gelar perkara kasus tersebut. Dalam gelar perkara akan diputuskan apakah kasus bisa naik status dari penyelidikan ke penyidikan.
Terpisah, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menuturkan, bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan kementerian terkait dalam penanganan kasus pelarungan jenazah ABK WNI yang bekerja di kapal milik perusahaan Tiongkok. Termasuk, soal isu pelaggaran perjanjian kerja yang disepakati.
“Kami sudah melakukan koordinasi dan langkah-langkah sudah dilakukan. Termasuk soal hak-hak ABK WNI yang harus dibayarkan pada mereka,” ujarnya dalam konferensi pers virtual kemarin.
Di sisi lain, Ida menekankan pula upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan maksimal pada pekerja ABK melalui payung hukum baru turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Selama ini, diakuinya, aturan mengenai tenaga kerja atau ABK perikanan berada di bawah pengawasan Kementerian Kelauatan dan Perikanan (KKP). Sehingga, dengan adanya aturan baru ini nanti, maka urusan ketenagakerjaan termasuk tenaga kerja di laut akan menjadi domain dari Kemenaker.
”Telah ada kesepakatan, saat ini dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM,” jelasnya.
Dia menargetkan, harmonisasi ini bisa rampung dalam minggu-minggu ini. Dengan begitu, tak ada lagi dualisme kententuan peraturan perundang-undangan. ”Kita harapkan kalau tidan minggu ini, minggu depan. Jadi bisa memberikan kepastian perlindungan kepada tenaga kerja termasuk yang ada di laut,” tegasnya.
Selain perlindungan, di dalam beleid tersebut juga mengatur hak-hak untuk para ABK. Termasuk, soal gaji yang dibayarkan kepada ABK.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Willy Aditya menjelaskan, Kemenlu harus serius mendampingi korban untuk memperoleh rasa keadilan. Jika keluarga korban merasa perlu melakukan gugatan, Kemenlu harus memfasilitasinya agar terjamin hak-hak mereka. “Kita pernah punya beberapa kasus dimana pemerintah menyediakan pengacara untuk melakukan pembelaan,” terang dia.
Menurut Politikus Partai NasDem itu, Kemenlu tidak bisa berjalan sendiri dalam menghadirkan rasa keadilan bagi korban. Perlu ada kerjasama sinergis dengan banyak pihak, termasuk keluarga korban. Pemerintah harus serius menanganani kasus ini dari hulu hingga hilir.
Kemenlu bisa bekerjasama dengan Kemenaker. Apalagi sudah ada Undang-Undang Pelindungan Pekerja migran. Pemerintah bisa melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, mulai dari sisi perekrutan hingga perlakuan tidak manusiawi yang terjadi selama di kapal. “Jangan hanya separuh-separuh menyelesaikan kasus ini,” tegas dia.
Wakil Ketua Baleg itu menegaskan, selain upaya penyelesaian secara diplomatik, Kemenlu juga harus menjadi wakil negara dalam melakukan pembelaan yang diperlukan. Menurutnya, ada banyak mekanisme hukum internasional yang bisa digunakan untuk memastikan hak-hak korban dapat diterima.
“Itu harus serius dilakukan agar tidak terjadi lagi perlakuan tidak manusiawi terhadap WNI di kapal-kapal berbendera asing,” terangnya.[jpc]