“Meski sudah ada penjelasan dari KBRI Beijing bahwa pihak perusahaan katanya ikuti standar praktik kelautan internasional saat melarung tiga WNI yang meninggal, pemerintah harus melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap masalah ini. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus melindungi WNI dimanapun berada,” katanya di Jakarta, Kamis (7/5).
Pemerintah, lanjut dia, perlu meastikan apa yang sesugguhnya terjadi, jika nantinya terbukti ada unsur pelanggaran HAM terhadap para ABK dengan dieskploitasi hingga menyebabkan kematian. Pemerintah harus bersikap tegas dengan melayangkan nota protes kepada pemerintah Cina dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahan kapal tersebut.
Menurut dua kabar soal eksploitasi TKI yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal asing sudah beberapa kali terdengar. “Yang kejadian ini info yang kami dengar mereka bekerja 18 jam sehari, bekerja selama sekitar 12 bulan hanya mendapatkan gaji sekitar Rp1,7 juta setiap bulannya,” ujarnya.
Parahnya ketika meninggal, mayat ABK tersebut dibuang kelaut, boleh jadi kejadian ini telah berulang kali terjadi. Pemerintah dalam hal ini harus memperketat penempatan TKI di tempat bekerja mereka di Luar Negeri.
“Harus dipastikan mereka berada di perusahaan yang punya reputasi baik,” kata anggota dewan asal DI Yogyakarta ini.
Menurut dia, jika dirinci masalah ABK yang bekerja di kapal asing ini panjang. Sejak proses perekrutan awal ABK asal Indonesia sering tidak jelas mulai dari masalah kontrak kerja tidak jelas atau sepihak dengan perusahaan di Indonesia yang menjadi agen tenaga kerja, kemudia agen ini ternyata merupakan sub agen dari agen penyedia tenaga kerja di luar negeri.
“Seringkali untuk berangkat calon ABK malah harus membayar terlebih dahulu atau jika tidak ada deposit ABK akan bekerja 3-4 bulan tanpa diberi bayaran. Lebih mirisnya lagi ABK bisa tidak dibayar gajinya sampai kontrak kerja selesai dan kembali ke Indonesia,” katanya.
Ia menegaskan, masalah ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia harsu dikawal secara ketat agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terus berulang.
“Apalagi Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) pada tanggal 6 Oktober 2016 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention,” kata Doktor lulusan Inggris ini.
Dia juga meminta agar Pemerintah memastikan hak-hak TKI khususnya dalam kasus meninggalnya 3 ABK WNI ini dapat tertunaikan baik gaji, pesangon dan juga asuransi dari pihak perusahaan. Mereka bekerja jauh dari tanah air untuk menghidupi keluarga.
“Jangan sampai keluarga hanya menerima berita kematian tanpa mendapatkan hak-hak dari perusahaan yang bisa digunakan untuk menyambung hidup keluarga,” ujarnya.
Lebih jauh dia melihat kasus 3 ABK yang meninggal dan kemudian dilarung ke laut ini ada kemungkinan karena terkait Covid-19. Hal ini menunjukkan masih ada cukup banyak TKI yang saat ini ternyata masih bekerja dengan risiko tinggi terpapar Covid-19.
Menurut dia pemerintah perlu melakukan pendataan secara akurat kondisi TKI, berapa yang saat ini masih dalam kondisi bekerja dengan risiko tinggi terpapar Covid-19, berapa banyak yang terdampak lockdown dan kesulitan makan, juga berapa banyak yang positif Covid-19 namun belum tertangani dengan baik. “Jika diperlukan, pemerintah bisa mengambil opsi pemulangan TKI untuk memastikan keselamatan dan kesehantannya,” ujarnya. []