GELORA.CO - Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Yusof Ishak Institute yang bermarkas di Singapura, menerbitkan jurnal tentang karier politik Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Artikel berjudul 'Anies Baswedan: Karier Politiknya, Covid-19, dan Pemilihan Presiden 2024' yang diterbitkan pada 19 Mei 2020, ini ditulis oleh Ahmad Najib Burhani, selaku peneliti tamu ISEAS Yusof Ishak Institute sekaligus Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI).
Najib memulai artikelnya dengan ringkasan meningkatnya popularitas Gubernur Anies yang menyebabkan saingan politiknya takut dan sulit untuk menenangkan kursi kepresidenan pada Pilpres 2024 di bawah sistem pemilihan langsung. Karena itu, ada beberapa pihak mengusulkan agar pemilu dikembalikan ke sistem pemilihan tidak langsung atau dipilih DPR.
Menurut Najib, Anies dikenal sebagai seorang intelektual Muslim yang progresif. Namun, banyak orang bertanya-tanya apakah Anies telah berubah setelah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017, lantaran bersekutu dengan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) dan mengendarai gelombang populisme Islam yang dibangun oleh Gerakan 212. Belum lagi, sambung dia, pidato pengukuhannya sebagai gubernur DKI pada Oktober 2017 mengisyaratkan keberpihakan Anies dengan warga propribumi.
Najib menyebut, banyak orang meragukan kemampuan Anies sebagai pemimpin nasional. Meskipun bukan termasuk orator yang baik, namun Anies dianggap mampu 'menghipnotis' pendengarnya. Kurangnya perkembangan kemajuan di Jakarta di bawah kepemimpinan Anies yang digambarkan para kritikusnya, dianggap sebagai indikasi ketidakmampuannya dalam menjadi gubernur.
"Anies Baswedan masih dapat menebus citra dan reputasinya jika dia mampu membawa Jakarta keluar dari pandemi Covid-19. Krisis ini memberinya kesempatan untuk memenangkan hati dan pikiran, dan menjadi batu loncatan untuk upayanya dalam Pemilihan Presiden 2024," ucap Najib.
Najib menyebut, Anies memiliki popularitas tinggi versi dua survei terakhir yang dilakukan Indo Barometer dan Median pada Februari 2020. Anies menduduki urutan kedua di belakang Prabowo Subianto (capres runner up 2014 dan 2019), dan di atas Ketua DPR Puan Maharani, serta Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Kebangkitan Anies di perpolitikan nasional mulai muncul usai ia lulus dari studi doktoral di Northern Illinois University (NIU), Amerika Serikat. Anies tidak langsung masuk ke dunia politik praktis, melainkan terlibat di The Indonesian Institute (TII) dan Partnership atau Kemitraan, kemudian diangkat sebagai rektor Universitas Paramadina pada 2007.
Selama menjadi rektor, Anies meluncurkan program Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), yang konon mencontoh gerakan 'Teach for America' (TFA). Menurut Najib, program yang pesertanya lulusan universitas ini diminta mengajar ke daerah tertinggal atau terpencil. Mereka dikirim dengan tujuan untuk menginspirasi dan memotivasi anak-anak di sekolah dasar.
"Tidak hanya berhasil menciptakan kesadaran tentang pentingnya pendidikan bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil, tetapi juga membuat orang-orang muda yang berpendidikan dan perkotaan sadar akan keanekaragaman Indonesia," ucap Najib.
Sayangnya, setelah 20 bulan menjadi mendikbud, Jokowi mengganti Anies dengan Muhadjir Effendy. Tidak berselang lama, Anies maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI dan menang, setelah mengalahkan calon pejawat (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Najib menyoroti, Pilgub DKI 2017 sebagai titik balik Anies sebagai Muslim moderat yang progresif, dan Anies sebagai politisi yang bersedia berkompromi dengan nilai-nilai positif untuk keuntungan politik. Anies yang meminta dukungan politik kepada tokoh agama kontroversial Rizieq Shihab, membuatnya mendapat respons beragam tidak hanya dari masyarakat umum, tetapi juga dari sekutu dan teman dekatnya sebelumnya, termasuk yang ada di Universitas Paramadina.
Selama menjadi gubernur DKI, Najib memandang, tidak mudah menilai keberhasilan dan kegagalannya di Jakarta. Perang tagar atau penyebutan Gabener dan Goodbener menandakan dua kelompok berseberangan dalam meninjau kinerja Anies. Najib pun membuat kesimpulan, gara-gara berteman dengan Rizieq Shihab di Pilgub DKI 2017 dan terlibat politik identitas, Anies kehilangan kepercayaan dari beberapa orang yang sebelumnya adalah pendukungnya. Pun ada 42 persen warga Jakarta yang tidak memilihnya (suara ke Ahok).
Najib menuturkan, peluang Anies untuk menang pada Pilpres 2024 tergantung berbagai faktor. Rekonsiliasi dengan mereka yang kecewa dengan Anies yang menjalin pertemanan dengan Gerakan 212 dan Rizieq Syihab, pasti menambah peluangnya untuk memenangkan kursi kepresidenan. Jika Anies berdamai dengan sekutu dan pendukung sebelumnya, dan menjauhkan diri dari kelompok garis keras, peluangnya untuk memenangkan pilpres semakin meningkat.
"Bahkan hari ini, ketika dia masih berhubungan dengan 212 dan Rizieq Syihab dan tidak benar-benar berhasil dalam memerintah Jakarta, elektabilitasnya sudah menjadi yang tertinggi. Cara Jakarta menangani pandemi Covid-19 adalah kesempatan Anies untuk menebus dirinya," ucap Najib yang aktif di Muhammadiyah ini. (*)