Oleh: Gde Siriana
PEMERINTAH sejak awal dituding banyak pihak tidak serius menghadapi Covid-19, yang pada awal Februari sudah menular ke luar China. Tetapi selanjutnya pemerintahan Jokowi menunjukkan tidak pernah konsisten dalam kebijakan yang diambil, terutama menyangkut bisnis transportasi.
Padahal esensi dari kebijakan yang diambil mulai dari social distancing hingga PSBB, esensinya adalah membatasi mobilitas manusia. Yang mana saat ini tidak dapat diketahui dengan pasti siapa yang membawa virus corona (kemudian diistilahkan dengan OTG, orang tanpa gejala). Untuk itulah mengurangi penularan dengan cara membatasi mobilitas orang.
Inkonsistensi Jokowi dapat dilihat dari polemik pulang kampung boleh vs mudik dilarang, membolehkan transportasi umum beroperasi lagi, hingga membolehkan karyawan usia 45 tahun ke bawah masuk kantor lagi. Padahal, menurut data Gugus Tugas, kelompok usia 30 hingga 50 adalah kasus positif terbesar.
Nampak berbagai kebijakan pemerintah saling bertolak belakang misalnya Kemenkes, Kemenhub, Gugus Tugas, dan juga dengan Pemda. Saya tidak perlu bahas lagi soal ini di sini, silakan bisa dicari di google.
Inkonsistensi yang berkali-kali ditunjukkan Jokowi kini menimbulkan rasa ketidakadlian di masyarakat. Rakyat bertanya kenapa saya tidak boleh berjualan sementara supermarket dan Ojol boleh. Umat muslim bertanya kenapa masjid ditutup dan mengharuskan tes darah, sementara orang ke supermarket tidak perlu tes darah.
Rasa ketidakadilan ini kemudian membuat setiap orang merasa berhak menafsirkan dan bertindak sendiri-sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan rezim Jokowi sudah tidak punya wibawa di mata masyarakat.
Jika kita melihat ke belakang, dalam situasi normal saja Jokowi tidak mampu memobilisasi potensi-potensi dan sumber daya untuk bersama-sama bertekad mencapai target pembangunan ekonomi.
Buktinya adalah 16 paket kebijakan ekonomi Jokowi yang gagal total. Apalagi dalam situasi krisis seperti Covid-19 saat ini. Semakin jelas terlihat ketidakmampuan Jokowi memimpin negeri kepulauan dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia.
Kebijakan yang diambil seringkali tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan prioritas anggaran. Kebijakan kartu pra kerja yang dianggap masyarakat berpotensi korupsi dan abuse of power tetap dijalankan, padahal di sisi lain ada kebutuhan lain yang lebih penting seperti tambahan honor untuk petugas kesehatan yang sudah menyabung nyawa di garis depan, kebutuhan APD petugas medis kebutuhan masker untuk masyarakat, kebutuhan sembako/pangan masyarakat. Idealnya sembako semua warga disupply pemerintah demi membatasi mobilitas masyarakat.
Akhirnya karena kekurangan anggaran justru pemerintah menaikkan lagi iuran Jamsostek yang sebelumnya telah dibatalkan MA. Padahal masyarakat sedang menunggu-nunggu kapan harga BBM diturunkan sepertidi negara lain.
Di sini terlihat jelas Jokowi tidak memahami esensi dari pembatalan MA ini. Juga tidak memahami esensi dari masalah besar saat ini yang dihadapi kebanyakan warga. Singkatnya dengan bahasa milenial, "yang gatal di mana, yang digaruk di mana."
Dalam masa PSBB (DKI mulai 10 April) faktanya rakyat bergerak sendiri-sendiri. Cari masker sendiri, cari makan sendiri, cari vitamin sendiri, cari solusi sendiri bayar kontrakan listrik dan sekolah anak. Bahkan relaksasi leasing cicilan motor masyarakat hanya menunda, tidak dihanguskan. Masyarakat terpaksa pinjam sana sini untuk bertahan hidup. Dapat dikatakan nanti saat Covid-19 berlalu, masyarakat miskin akan memulai harinya dengan utang segunung.
Sementara kini Jokowi ingin terlihat populis di mata masyarakat. Meski mengatakan pelonggaran PSBB masih dalam pertimbangan, faktanya pegawai usia 45 tahun ke bawah sudah boleh masuk dan transportasi publik boleh operasi lagi.
Cari popularitas tapi tidak tahu dampaknya. Sangat kelihatan bahwa paradigma yang digunakan Jokowi dalam menghadapi wabah Covid-19 ini adalah penyelamatan ekonomi (milik warga menengah-atas), bukan penyelamatan kesehatan masyarakat yang utama.
Ini semua terjadi karena negara tidak mau membiayai kebutuhan rakyat sepenuhnya seperti amanat UU Kedaruratan Kesehatan Nasional. Karena negara tidak punya uang? Tidak juga. Jika saja keuangan negara dijalankan dengan prinsip efisien dan prioritas negara pasti punya uang.
Sebagai contoh pemborosan adalah tingkat bunga yang ditawarkan negara pada kreditor asing yang di atas tingkat bunga yang lazim, bahakan jauh lebih tinggi dari Filipina.
Kesimpulan saya, awalnya ada rasa takut masyarakat pada corona. Tetapi kini sudah berubah jadi kemarahan umum. Kemarahan umum diekspresikan dengan ketidak pedulian pada pelaksanaan PSBB. Dan saya merasakan bahwa kemarahan umum ini akan tetap muncul pada saat dilakukan recovery ekonomi, dalam bentuk no trust, yang mana membuat Jokowi makin berat atau gagal total. (*)