GELORA.CO - Pada pekan lalu, Presiden Joko Widodo turun langsung ke masyarakat untuk membagikan sembako gratis untuk korban terdampak virus corona baru atau Covid-19.
Entah cuma gimik atau memang inisiatif pribadi. Tapi aksi Kepala Negara ini mengundang kontroversi dan pertanyaan dari banyak pihak.
Ada apa dengan program Bantuan Sosial dan juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diinisiasi pemerintah pusat, untuk menanggulangi dampak ekonomi keluarga rentan dan miskin yang terdampak Covid-19.
Pertanyaan ini pun coba dijawab oleh Pengamat Ekonomi dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng.
Salamuddin Daeng menyampaikan sejumlah analisanya terkait fenomena yang telah terjadi tersebut.
Faktor pertama menurutnya, pemerintah pusat memiliki kendala regulasi yang belum bisa mengatur kondisi darurat kebencanaan non alam ini.
Bahkan ia mengatakan, Perppu 1/2020 yang ditujukan untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah situasi pandemik Covid-19 tidak sesuai dengan tujuannya.
"Terdapat kelemahan di regulasi di negara ini, baik dalam hal kesehatan dan kebencanaan. Pemerintah sayangnya malah Mengeluarkan Perpu darurat keuangan," ujar Salamuddin Daeng saat dihubungi, Senin (4/5).
Ia menjabarkan, Perpu 1/2020 sama sekali tidak berbicara mengenai kebijakan penanganan corona, sistem penanganannya, pengorganisasiannya, pola koordinasinya, sumber pendanaannya, dan bahkan supporting sistem lainnya.
Yang ada justru menurutnya adalah silang pendapat, baik antara kementerian/lembaga ditingkat pusat, maupun pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
"Dalam banyak hal di dalam pemerintahan pusat sendiri. Sehingga mereka tidak seia sekata dan seirama dalam bergerak menghadapi virus corona. Negara tidak kelihatan berperan," ungkapnya.
Kalau boleh menilai, Salamuddin Daeng melihat Presiden kurang keras dalam mengambil berbagai kebijakan dalam menerapkan aturan, khususnya dalam rangka mengefektifkan birokrasi pemerintahan.
Hal itu bisa disaksikan dari banyak bantuan yang disalurkan masyarakat, tapi tidak terkoordinasi baik dari sisi pendataan maupun pelaksanaannya. Selain itu, sumber dana di berbagai kementerian/lembaga dalam bentuk bantuan CSR, juga terbilang sama.
"Demikian juga di pemerintah daerah. Namun tidak terkoordinasi dengan baik. Masing masing kementerian kerja sendiri sendiri," tuturnya.
Namun jika dilihat secara kelembagaan, Salamuddin Daeng melihat persoalan distribusi Bansos dan BLT ini bisa diselesaikan dengan mudah.
Sebab, secara otoritas, alurnya ialah dari presiden turun persetujuan ke menteri keuangan, lalu dana disalurkan menteri sosial dan pemerintah daerah.
"Seharusnya lebih gampang di salurkan," tegas Analis dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini.
Salamuddin Daeng pun menduga, persoalan Bansos dan BLT yang belum diterima masyarakat, dikarenakan beberapa faktor, yakni pemerintah pusat tidak siap dengan data, dan jajaran kabinet Jokowi lambat bekerja.
"Sebagaimana banyak program dan proyek lainnya, selalu berbenturan dengan masalah tidak ada data demografi yang akurat. Ada kemungkinan juga uang di kementerian keuangan tidak ada. Sehingga dicari carilah alasan untuk menunda bantuan BLT dan bansos," ucap Salamuddin Daeng.
"Pantas saja Pak Jokowi bagi kardus bantuan di jalan-jalan dan masuk kampung sendiri. Mungkin kesal dengan para pembantunya yang lelet," pungkasnya. (*)