Dahlan Iskan: China Ketat Corona, di RI Orang Bebas Keluar-Masuk

Dahlan Iskan: China Ketat Corona, di RI Orang Bebas Keluar-Masuk

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk kesekian kali mengulas perkembangan terkini pandemi corona atau covid-19 di dunia khususnya di Indonesia termasuk China.

Dahlan menceritakan soal kisah keluarga yang dihadapkan dengan dua pilihan, untuk mengamankan anak-anaknya dari virus corona, pilihannnya menempatkan di China atau Amerika Serikat (AS), dalam laman disway.id, dikutip Minggu (10/5).

Dari kisah ini ada pesan yang ingin disampaikan bahwa keseriusan negara-negara berbeda dalam mengantisipasi virus corona yang mematikan. Dahlan sedikit menyentil kondisi di Indonesia yang masih 'bebas' dibandingkan di China yang sangat ketat mengawasi penyebaran virus corona di bandara, pada periode medio Maret 2020. Berikut kisah lengkapnya.

Pilih Shanghai

Ini memang bacaan hari Minggu. Tapi ibu satu ini luar biasa: Suami kerja di Amerika. Istri kerja di Shanghai. Di manakah dua anaknya akan "disembunyikan" dari Covid-19? 

Menariknya suami-istri itu orang Amerika. Bukan keturunan Tionghoa. Mereka pun diskusi tentang keselamatan dua anaknya itu. Topik diskusinya: lebih selamat di mana, di Tiongkok atau di Amerika?

Setiap rumah tangga punya problemnya sendiri-sendiri. Demikian juga pasangan ini.

Sejak sebelum Tiongkok dilanda Covid-19, dua anak mereka sudah ikut ibunya di Shanghai. Mereka sekolah di kota terbesar di Tiongkok itu.

Ketika wabah kian hebat melanda Tiongkok, di Amerika masih tenang-tenang saja. Seperti tidak mungkin wabah yang sama akan masuk ke Amerika.
Shanghai pun mengumumkan sekolah-sekolah harus tutup.

Maka sang ibu mengirim dua anaknya pulang ke Amerika. Tanpa ada yang menemani. Di bandara Washington dijemput sang ayah. Sementara Tiongkok dilanda Covid biarlah mereka tinggal bersama sang ayah di Washington DC.

Mereka pun pindah sekolah ke sana. Kembali ke sekolah mereka yang lama.

Sebulan kemudian, ternyata Covid mulai merajalela di Amerika. Cepat sekali. Mulailah ada pengumuman: sekolah akan ditutup.

Sang istri mengikuti perkembangan itu demi anaknya. Dengan tingkat waswas yang tinggi.

Tak lama kemudian Tiongkok mulai berhasil mengatasi Covid-19. Sedang Amerika kian kedodoran. Sang ibu ambil putusan cepat: lebih selamat kalau anaknya ditarik kembali ke Shanghai. Toh sekolah di Washington akan ditutup.

Soal penanganan pandemi, sang istri menjadi lebih percaya pada kemampuan Tiongkok. 

Sedang keadaan di Amerika justru sangat mengkhawatirkannya. Dia tidak percaya sistem di Amerika bisa bertindak keras seperti di Tiongkok. 

Maka dia pun terbang ke Washington DC. Menjemput sang anak. Begitu mendarat di Washington dia sudah mengambil kesimpulan: keputusannya benar. Yakni untuk menarik kembali anaknya ke Shanghai.

Saat mendarat di bandara pun dia sudah tahu: Amerika sangat sembrono --sangat menganggap enteng pandemi ini. Dia lihat di bandara itu: tidak ada pemeriksaan yang memadai. Di Washington pun dia lihat sikap orang-orangnya cuek-bebek. Seperti sedang tidak ada pandemi. Jalan-jalan raya masih ramai. Orang masih berlalu-lalang di mana-mana. Restoran masih penuh. "Ini bahaya," katanya dalam hati. 

Maka tidak sampai hitungan hari dia sudah berangkat lagi ke bandara. Bersama dua anaknya. Tujuannya bulat: Shanghai. Anaknya akan lebih aman daripada di Amerika.

Hanya 36 jam sang ibu di Amerika. 

Kelak, beberapa hari kemudian, dia merasa lebih benar lagi. Yakni ketika dia ikuti perkembangan Covid-19 di Amerika. Yang korbannya terus meroket seperti tak terkendali.

Itulah gambaran seorang ibu yang lagi terjepit pandemi di antara dua benua.

Kisah berikutnya tidak hanya menarik, tapi juga penting bagi kita. Agar kita tahu beginilah cara mengelola masyarakat di tengah pandemi. Harian South China Morning Post, Hong Kong, memuat kisah sang ibu itu. Tanpa menyebutkan nama dan identitas lengkap.

Begitu mendarat kembali di Shanghai sang ibu menemukan suasana yang begitu berbeda. Begitu ketat. Padahal wabah sudah mulai bisa diatasi di Shanghai.
Tanggal 15 Maret 2020 dia mendarat kembali di bandara Shanghai. Bersama dua anaknya. Suasananya berbeda sekali dengan di bandara Amerika. 

Penumpang pesawat tidak boleh langsung meninggalkan pesawat. Harus lama duduk manis di dalam dulu. Sampai semua pemeriksaan selesai. Satu persatu ditanya tentang keadaan badan mereka. Suhu badan. Obat yang sedang di makan. Pernah pergi ke kota mana saja. Banyak dokumen kesehatan yang harus diisi. Lalu diperiksa begitu teliti. Dua jam lamanya ibu dan anak Amerika itu berada di dalam pesawat. 

Ketika penumpang akhirnya diizinkan meninggalkan pesawat, masih harus antre menjelang proses imigrasi. Dua jam lamanya berdiri di barisan antre itu.
Begitu tiba di depan, seorang petugas bandara melakukan pemeriksaan lagi. Semua dokumen diperiksa teliti lagi. Yang memeriksa mengenakan pakaian APD lengkap.

Setelah lolos pemeriksaan itu masuk lagi ke dalam antrean berikutnya: antre mem-foto copy semua dokumen kesehatan. Yang sudah lolos dua pemeriksaan sebelumnya. Ada mesin foto copy Xerox di situ. 

Copy-an dokumen tersebut lantas ditempeli kertas kuning. Artinya, itulah tanda boleh antre di tahap berikutnya. Yakni antre untuk dilakukan pemeriksaan cepat Covid-19.

Hasil pemeriksaan itu akan menentukan nasib. Ada tiga kemungkinan: harus karantina di rumah masing-masing, atau harus karantina di hotel yang sudah ditunjuk. Atau juga harus langsung masuk rumah sakit. 

Setelah melalui proses itu, barulah bisa ke imigrasi. Untuk pemeriksaan paspor.

Sang ibu bernasib baik: kondisi badannya dan anak-anaknya sangat baik. Mereka dinyatakan harus masuk karantina di apartemen mereka sendiri.

Untuk itu dia mendapat dokumen "lolos" dari bandara. Berarti boleh mengambil bagasi.

Tapi bukan berarti sudah bebas. Untuk pemegang dokumen warna itu dia harus masuk lorong antrean khusus. Yakni yang menuju bus yang sudah ditentukan. Yakni bus jurusan apartemen sang ibu. Tidak boleh pakai taksi atau pakai bus lain.

Tapi sebelum menuju bus khusus itu dia harus men-download Apps khusus. Yakni Apps laporan kesehatan. Dia harus mengisi daftar pertanyaan di Apps itu. Kondisi badannya harus selalu dilaporkan lewat ponselnya.

Sampailah sang ibu dan anak di dekat bus. Dia harus menjalani lagi pemeriksaan suhu badan. Lalu harus menunjukkan bahwa dia sudah memiliki Apps di ponselnya. 

Masih ada prosedur lain lagi. Dia hanya boleh mengarantina diri di apartemen sendiri kalau bisa memenuhi syarat ini: tetangga di apartemen itu mengizinkan. Yang dimaksud tetangga adalah komite penghuni apartemen (semacam pengurus) dan manajemen apartemen.

Kalau dua pihak itu tidak setuju mereka harus karantina di hotel. Ada dua pilihan hotel. Yang tarifnya 30 dolar dan yang 60 dolar. Itulah hotel yang sudah ditentukan. Agar pemerintah bisa mengawasi dengan ketat.

Sang ibu cukup pede untuk bisa diterima komite apartemen dan manajemenya. Itu karena sang ibu tinggal di apartemen yang penghuninya mayoritas orang asing.

Sebelum sang ibu naik bus, seorang petugas berpakaian "astronaut" memeriksa paspor. Lalu mengambilnya. Paspor itu baru akan dikembalikan kalau hasil tes Covid-19 sudah keluar.

Tanpa menunggu pengembalian paspor sang ibu naik bus besar. Tidak tahu bus itu akan ke mana. Tidak semua penumpangnya di apartemen yang sama.

Satu jam kemudian tibalah bus besar itu di sebuah gelanggang olahraga. Sang ibu mengecek di mana lokasi itu. Dia pun tahu. Di sebuah distrik yang dia kenal. 

Penumpang diminta turun dari bus. Tapi diperiksa dulu nomor penumpangnya. Lalu harus masuk ke dalam antrean di sport center itu. Sesuai dengan nomor dan warna kertas yang dia pegang.

Sang ibu masuk grup 1. Maka antrean masuk sport center itu pun harus di antrean 1.

Di dalam gelanggang olahraga disediakan tempat duduk yang bisa disandarkan. Agar mereka bisa istirahat. Ada juga pesawat tv dengan program video on demand.
Mereka harus lama sekali di situ. Untuk menunggu dipanggil satu persatu. Untuk menjalani tes Covid-19.

Petugas astronaut lantas membagikan selimut. Lalu mengantar roti yang ditaruh di kereta dorong. Jumlahnya tak terbatas. Dibagi juga susu impor dari Jerman. Sang ibu menaruh apresiasi tinggi atas susu itu. Orang asing di Tiongkok memang tidak biasa minum susu lokal. Dibagi juga masker dan air dalam botol.

Jam 20.30 (berarti sudah 7 jam setelah mendarat) namanya dipanggil. Dua orang perawat berpakaian astronaut membawanya ke belakang gedung. Yakni ke halaman yang dipasangi tenda. 

Di situlah dilakukan tes Covid-19. Yakni dengan cara diambil cairan mukus yang ada di dalam hidung --dekat tenggorokan. 

Selesai pengambilan mukus sang ibu kembali lagi ke kursi yang bisa disandarkan tadi. Saat inilah sang ibu waswas. Sambil lesehan di kursi ia membayangkan: jangan-jangan hasilnya positif. Jangan-jangan tertular saat di Amerika. Kalau sampai sang ibu positif, berarti akan dipisah dari dua anak kecilnya. 

Panjanglah bayangan sang ibu. Akan di mana anaknya. Akan di mana pula dia. Bagaimana akan bisa berkomunikasi. Kalut.

Tapi dia juga kagum. Betapa banyak orang yang dites di Tiongkok ini. Beda sekali dengan di Amerika. 

Bayangan itu membuat sang ibu tidak bisa tidur. Padahal sudah jam 00.30. Untungnya anak-anaknya lelap di balik selimut tebal di kursi sandar itu.
Jam 02.30 terdengarlah pengumuman. Semua penumpang bus tadi dinyatakan negatif. Bukan main leganya.

Mereka pun boleh siap-siap pulang. Baru siap-siapnya. Masih banyak dokumen yang harus diisi dan diperiksa. Termasuk dokumen pernyataan tidak akan keluar dari apartemen selama 14 hari. 

Jam 04.30 barulah mereka bisa meninggalkan sport center.

Sang ibu akhirnya bisa tiba di apartemennya sendiri. Di Shanghai.

Tapi jam 9 pagi pintu kamarnya sudah diketok. Petugas berpakaian astronaut melakukan pengukuran suhu badan. Begitu juga sore hari.

Begitulah ketatnya pemeriksaan di Tiongkok. Sejak dari dalam pesawat sampai tiba di rumah. Itulah mengapa Covid-19 cepat teratasi di sana.

Saat itu, pada tanggal itu, penumpang masih begitu bebasnya keluar masuk Indonesia.

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita