GELORA.CO - Proses pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi sorotan. Tidak hanya melibatkan Gubernur Anies Baswedan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, tapi turut diramaikan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna.
Bermula dari tagihan Anies ke Sri Mulyani agar pembayaran utang DBH DKI Rp5,16 triliun bisa segera dilakukan. Pembayaran DBH yang ditagih berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang dibayarkan pada 2020.
Kala itu, Anies ingin Ani segera mencairkan DBH DKI agar bisa mendukung arus kas (cash flow) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebab, pemerintah daerah membutuhkan kelancaran arus kas untuk menangani dampak penyebaran pandemi virus corona atau covid-19.
"Kami berharap itu dicairkan. Jadi, tantangan di Jakarta bukan pada anggaran tapi pada cash flow. Kalau dicairkan kami punya keleluasaan secara cash flow," terang Anies, Kamis (2/4).
Permintaan Anies direspons oleh Ani. Bendahara negara itu akhirnya mengabulkan permintaan agar pembayaran DBH bisa dipercepat, namun yang dikabulkan hanya sebesar Rp2,6 triliun atau 50 persen dari total utang DBH DKI.
Ani mengatakan pencairan 50 persen sebelum hasil audit BPK merupakan dukungan pemerintah pusat kepada DKI. Namun, sisanya belum bisa dicairkan karena masih perlu menunggu hasil audit pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat dari BPK.
Sebab, hasil audit BPK akan menentukan berapa kurang atau lebih bayar utang DBH pemerintah pusat kepada DKI. Bila merujuk pada pola yang biasa berjalan, maka sisa pencairan DBH akan diberikan pada Agustus-November setelah tahun anggaran DBH.
"Untuk kurang bayar DBH DKI Jakarta yang sudah disalurkan Rp2,6 triliun. Sisanya akan disalurkan dalam periode selanjutnya setelah audit BPK dan LKPP," ungkap Ani, Jumat (8/5).
Keputusan Sri Mulyani kemudian direspons oleh Agung. Menurutnya, pembayaran DBH oleh Kementerian Keuangan kepada DKI maupun daerah lain tidak perlu dihubungkan dengan hasil audit BPK.
"Penting untuk ditegaskan di sini, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk bayar DBH. Tidak ada hubungan, saya sudah jelaskan, tidak ada hubungan antara pembayaran kewajiban Kementerian Keuangan kepada Pemprov DKI atau pemerintah daerah mana pun," kata Agung, kemarin.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio menilai polemik ini terjadi karena pada dasarnya pemerintah pusat tidak punya kecukupan dana, sehingga tetap bersikukuh ingin melakukan pembayaran setelah ada hasil audit pemeriksaan BPK.
Begitu pula dengan kebijakan pencairan DBH sebesar 50 persen dan sisanya menunggu audit BPK. "Intinya, pemerintah pusat tidak punya uang, 'bokek', sekarang kalau dasarnya 'bokek' ya bagaimana mau bayar?" imbuh Agus, Selasa (12/5).
Hal ini satu-satunya alasan karena pemerintah sejatinya tak bisa melakukan pembayaran DBH lebih awal, meskipun setelah itu tinggal dilaporkan dalam laporan keuangan yang nantinya akan diaudit oleh BPK. Selama bisa dipertanggungjawabkan, tentu hal ini diperbolehkan.
Selain itu, Agus menilai wajar bila daerah ada permintaan percepatan karena perlu menangani dampak pandemi corona dari anggaran yang dimiliki. Hanya saja, anggaran belum optimal karena masih ada transfer dana dari pemerintah pusat yang belum diberikan.
"BPK juga tidak masalah, boleh kok seperti itu. DKI juga punya hak untuk mengusulkan percepatan. Tapi intinya kalau tidak punya uang ya terus berpolemik karena tidak bisa berikan uangnya," tuturnya.
Dari sini, ia mengatakan hanya ada satu solusi, yaitu pemerintah pusat segera mencari sumber pemasukan agar bisa menunaikan kewajiban transfer ke daerah. Begitu juga untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah pusat yang lain.
"Yang penting sekarang cari uangnya dong. Coba bagaimana mau belanja kalau tidak punya uang?" imbuhnya.
Berbeda, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai polemik pembayaran DBH DKI antara Anies, Sri Mulyani, dan BPK diwarnai banyak kemungkinan. Trubus menilai wajar apabila ada permintaan percepatan DBH karena mungkin saja memang diperlukan untuk penanganan dampak pandemi corona.
Tentu, sambungnya, pada masa pandemi corona ini, segala anggaran pemerintah daerah turut difokuskan ke kebutuhan penanganan wabah. Toh, ini juga menjadi arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pemerintah daerah turut melakukan realokasi dan refocusing anggaran untuk corona.
"Tapi khawatirnya, ada kepentingan politik juga karena pak Anies ini suka sekali langsung menampilkan suatu permasalahan di panggung publik," imbuh Trubus.
Sementara dari sisi Ani, ia melihat tidak salah pula bila mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu taat dengan pola pencairan yang sudah berlaku, yaitu menunggu hasil audit pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat dari BPK.
Tujuannya, agar bila ada kelebihan atau kekurangan bayar tidak jadi permasalahan di pemeriksaan tahun berikutnya oleh BPK.
Artinya, ada prinsip transparansi dan akuntabel yang ingin dipertahankan oleh Ani. Selain itu, bukan tidak mungkin percepatan DBH DKI tidak diberikan sepenuhnya karena memikirkan dampak permintaan dari daerah lain.
"Tapi saya menduga mungkin juga sebenarnya kapasitas keuangan negara tidak cukup memadai, sehingga sulit untuk mempercepat pembayaran dan akhirnya baru diberikan 50 persen. Kalau begini, Menteri Keuangan perlu buka ke publik seperti apa kondisi keuangan negara kita sebenarnya," tuturnya.
Sedangkan dari sisi BPK, ia berpandangan mungkin saja lembaga independen itu ikut memikirkan perlunya kepentingan publik dinomorsatukan, sehingga 'mengizinkan' bila pembayaran utang DBH dipercepat asal bisa dipertanggungjawabkan.
Namun, di sisi lain ada peran tidak ingin ikut campur dari BPK, sehingga ingin Kementerian Keuangan memutuskan sendiri soal kewajibannya itu.
"Asumsi terakhir, bisa juga ada kepentingan politis dari pihak tertentu untuk ikut mendesak pemerintah pusat. Kan dulu-dulu juga pernah ada soal suap audit hingga audit RS Sumber Waras dari BPK yang dipertanyakan," katanya.
Tidak Perlu Dibesar-besarkan
Atas polemik ini, Trubus menyarankan agar Jokowi bisa ikut 'turun tangan' dengan memberikan aturan tegas soal pencairan dana transfer pemerintah pusat ke daerah di tengah pandemi corona. Sebab situasi mendesak, namun pemenuhan kebutuhan justru terganjal oleh polemik seperti ini.
"Solusinya, semua perlu duduk bersama, dialog, agar tidak menambah beban publik. Presiden juga bisa tengahi agar kalau ada bencana lagi ke depan, ini semua sudah jelas harusnya seperti apa dan turunkan ego sektoral," terangnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA) Yenny Sucipto mengatakan polemik ini seharusnya tidak perlu diperpanjang terlepas dari apapun latar belakangnya. Toh, setidaknya Sri Mulyani sudah memenuhi permintaan Anies, meski baru 50 persen dari total utang DBH DKI.
"DKI tidak perlu menjadikan hal ini isu besar, tinggal bersurat dan kemarin sudah dipenuhi dulu 50 persen. Sisanya menunggu audit BPK rasanya sudah tepat karena di sisi lain ada prosedur akuntabilitas yang perlu dijalankan," katanya.
Di sisi lain, ia meminta Anies untuk membuka realisasi APBD DKI ke publik agar polemik tidak berkepanjangan. Bila memang terbukti ruang fiskal DKI sempit, maka pemerintah pusat dan publik bisa menilai urgensi permintaan itu.
"Tapi saya rasa, ketergantungan ruang fiskal DKI ke pusat sebenarnya sedikit, mungkin hanya 10-20 persen. Silakan dibuka, begitu juga daerah lain agar transparan," pungkas Yenny. (*)