GELORA.CO - Polemik pembubaran salat Jumat di Kecamatan Ujung, Kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel), masuki babak baru. Kali ini Front Pembela Umat (FPU) muncul dan berbicara soal pelaporan Camat Ujung, Andi Ulfa Lanto, ke polisi.
FPU adalah pihak yang mendampingi pelapor Camat Ujung atas tudingan penistaan agama. FPU menilai pelaporan ke polisi muncul sebagai dampak dari Surat Edaran Wali Kota Parepare.
Mereka mengatakan masyarakat masih belum benar-benar jelas soal boleh-tidaknya menggelar salat Jumat berjemaah di masjid. Sekretaris FPU Kota Parepare, Abdul Rahman Saleh (Arsal), mengaku sudah beberapa kali ingin bertemu Wali Kota Parepare Taufan Pawe untuk meminta kejelasan.
"Ini adalah dampak dari terbitnya surat edaran Wali Kota. Beberapa kali kami mau bertemu Wali Kota, tapi tidak terpenuhi untuk mempertanyakan edaran tersebut," kata Arsal dalam jumpa pers di Warkop Gelatik, Parepare, Jumat (1/5/2020).
FPU Kota Pareprae menggelar konferensi pers terkait pembubaran salat Jumat oleh Camat Ujung. (Hasrul Nawir/detikcom)
|
Dalam surat edaran tersebut, lanjut Arsal, tidak ada larangan untuk melaksanakan salat Jumat. Arsal menuturkan yang ada hanya berupa imbauan.
Dia juga mengomentari pernyataan Sekretaris MUI Sulsel, Prof Muhammad Ghalib. Menurutnya, komentar Prof Ghalib tidak sepenuhnya memahami persoalan.
Baca juga: Pihak Pelapor Camat yang Bubarkan Salat Jumat: Pemda Kurang Sosialiasi
|
"Apa yang dilakukan tidak sesuai surat edaran dengan tidak ada larangan, justru menjurus ke bentuk penodaan dan tidak memiliki etika. Karena orang masuk masjid harus wudhu dulu sementara khatib sudah khotbah lalu dibubarkan. Itu yang tidak dipahami oleh Pak Prof," kata Arsal.
"Kami sesalkan pernyataan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel, dalam hal ini Prof Gholib, tanpa didahului tabayun dan memperhatikan duduk masalahnya, seolah-olah mengerti duduk perkaranya apa yang terjadi," tambahnya.
Sekum MUI Sulsel sebelumnya menilai bahwa langkah Camat Ujung Andi Ulfa Lanto melarang warganya salat Jumat di masjid tidak bisa disebut menistakan agama. Sebab, Ulfa Lanto bertujuan menyelamatkan warganya.
"Ketika saya ditanya bahwa ada salah seorang camat di Kota Parepare yang melarang pelaksanaan salat Jumat, apa itu termasuk penistaan agama? Saya jawab 'tidak masuk penistaan agama', karena itu dilaksanakan untuk memelihara keselamatan jiwa masyarakatnya dan salah satu dasarnya adalah imbauan MUI Sulsel," tegas Prof Ghalib dalam rilisnya, Jumat (1/5).
Kemudian Ghalib memaparkan sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah di negara-negara Muslim. Kebijakan itu, sebutnya, didasarkan pada prinsip hifdzun nafs ini.
"Di negeri kita, ada edaran Menteri Agama agar tarawih dan tadarusan dilakukan di rumah masing-masing. Juga imbauan peniadaan acara buka puasa bersama, peringatan Nuzulul Quran, i'tikaf dan salat Idulfitri yang melibatkan banyak orang. Kebijakan-kebijakan yang berbasis fatwa ulama ini harus kita pahami secara bijak juga," ujarnya.
"Itu adalah bentuk usaha lahiriah manusia dalam menghindari wabah Corona yang bahayanya sudah jelas dan terbukti memakan banyak korban. Karena itu tidak tepat kiranya jika ia diremehkan atau dikait-kaitkan dengan isu-isu lain yang tidak relevan, sebagaimana kadang kita temukan di media sosial," lanjut Ghalib.
Foto: dok. Istimewa
|
Sebelumnya diberitakan, Ulfa dilaporkan ke polisi usai membubarkan salat Jumat di Masjid Ar Rahma, Cappa Ujung, Kecamatan Ujung, Kota Parepare, pada 17 April 2020 lalu. Bu Camat melakukan pembubaran karena khawatir terjadi penyebaran virus Corona bila warga berkumpul.
Namun belakangan ada warga yang tidak puas dengan aksi sang Camat dan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Pelapor menuding Ulfah melakukan penodaan agama. Aksi sang camat ini juga sempat ramai beredar di media sosial.
Terkait pelaporan itu, Kemenag membela Ulfa. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin menyayangkan adanya camat di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, yang dipolisikan karena membubarkan salat Jumat di tengah pandemi Corona. Menurutnya, apabila camat tersebut membubarkan salat Jumat bertujuan mencegah penularan COVID-19, itu merupakan bentuk tanggung jawab pemimpin agar warganya terhindar dari wabah.
"Saya kira kita harus melihat dari niatnya, lihat dari maksudnya alasannya apa, apakah alasannya untuk menistakan agama atau apa, karena sebagai camat tentu punya tanggung jawab menjaga warganya dari infeksi Corona atau untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 itu," kata Kamaruddin.[dtk]