Oleh:Chappy Hakim
KABAR yang paling mutakhir sekarang ini adalah lebih dari 3 juta orang telah terjangkit Virus Corona Covid 19 dan lebih kurang 258 ribu orang telah meninggal dunia. Realitanya, penyebaran Covid 19 telah memporakporandakan kehidupan sehari-hari umat manusia di saentero jagad.
Banyak orang yang terpapar dan meninggal dunia sementara cukup banyak juga orang yang telah terjangkit Covid 19 dapat sembuh kembali.
Pertanyaannya adalah mengapa ada orang terjangkit, ada yang kemudian meninggal dunia sementara ada pula yang dapat sembuh kembali.
Menghadapi pertanyaan ini berbagai jawaban dapat diberikan dengan beraneka ragam alasan dan argumen yang sangat bervariasi. Akan tetapi, biasanya semua jawaban itu akan berakhir dengan satu kesimpulan sederhana dan juga dalam satu kata saja yaitu sudah Nasib, atau sudah Takdir atau ada juga yang mengatakan sebagai sudah garis tangannya.
Takdir atau Nasib atau Garis Tangan, maknanya sama saja yaitu sesuatu yang tidak bisa dihindarkan sekaligus tidak dapat diramalkan sebelumnya.
Takdir, Nasib dan Garis Tangan juga akan menjadi jawaban tunggal atas pertanyaan tentang kenapa Didi Kempot dan Elvis Presley meninggal dunia pada usia yang relatif muda?
Nah, berbicara tentang nasib , takdir dan garis tangan pasti akan menjadi sebuah perbincangan yang sangat menarik, terutama karena pada umumnya melekat pada pergunjingan mengenai kekecewaan.
Hampir pada banyak kesempatan, kita semua kerap mendengarkan pernyataan kekecewaan dari seseorang dan juga tidak terkecuali, termasuk dari dalam hati kita sendiri.
Kecewa , karena ternyata yang menjadi, sebut saja beberapa jabatan tertentu seperti Dirjen, Kepala, Panglima, Menteri atau bahkan Presiden.
Seharusnya kan bukan dia yang pantas, si A atau mungkin bisa saja “saya” jauh lebih tepat dalam jabatan itu.
Saya kan sudah menduduki jabatan ini , jabatan itu, sekolah ini, sekolah itu dan lebih pintar dari dia. Mengapa dia yang jadi? Dia kan belum sekolah ini, belum menjabat itu dan lain sebagainya. Analisis ngalur ngidul terus saja akan bergulir ditengah kekecewaan dan biasanya akan berakhir juga dengan satu kata yang “sangat menghibur”, yaitu sudah nasib atau sudah takdir atau sudah menjadi garis tangannya. Bisa segera selesai dan bisa juga akan menjadi sebuah ratapan yang melekat seumur hidup.
Membincangkan nasib, takdir atau garis tangan biasanya akan selesai dengan baik bagi orang yang beragama, karena semua agama memiliki jawaban masing-masing yang pasti akan dapat diterima dengan pasrah dan lapang dada. Nasib, Takdir dan Garis tangan akan diterima dengan legowo, pasrah oleh semua orang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Walaupun tentu saja ada pula yang tetap kesulitan untuk menerima kenyataan yang dihadapinya.
Mahatma Gandhi, yang nama lengkapnya Mohandas Karamchand Gandhi adalah tokoh pergerakan kemerdekaan India yang lahir pada tanggal 2 Oktober 1869, meninggal dunia pada usia 78 tahun di tahun 1948 tanggal 30 Januari sebagai korban pembunuhan. Ia dikenal juga sebagai pemimpin spiritual, dengan pemahaman Satyagraha dan atau Ahimsa yaitu anti kekerasan, namun ia meninggal dunia sebagai korban kekerasan.
Salah satu yang sangat menarik dari Mahatma Gandhi adalah pandangannya tentang nasib, takdir atau garis tangan. Untuk membahas lebih jauh tentang hal ini, maka selanjutnya kita akan gunakan kata destiny untuk mewakili ketiga istilah populer tersebut. Pembahasan ini sekedar untuk berbagi dan tidak untuk membenturkannya dengan keyakinan siapapun berkait dengan ajaran agama dan atau aliran kepercayaan tertentu.
Menurut Mahatma Gandhi pikiran atau pemikiran kita akan menghasilkan kata-kata. Kata-kata akan mewujud sebagai tindakan, sementara tindakan akan menghasilkan kebiasaan. Nah, dari kebiasaan itulah akan muncul dipermukaan tampilan yang biasa dikatakan orang sebagai karakter. Pada akhirnya, karakter seseorang itulah yang akan menentukan dan melahirkan destiny.
Dengan kata lain, maka dapat dikatakan bahwa nasib seseorang yang juga sering disebut sebagai takdir dan atau garis tangan ternyata, menurut Gandhi adalah produk dari karakter seseorang.
Karakter yang merujuk dari titik awal pemikiran yang bergulir menjadi kata-kata untuk selanjutnya menjadi tindakan dan kebiasaan yang berakhir dengan kelahiran sebuah karakter. Sang karakter akan melahirkan destiny.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju, minimal pendapat ini menjadi sesuatu yang menarik untuk direnungkan bersama. Mahatma Gandhi taught us to remember our thoughts generate words, words generate action, actions generates habits, habits generate character, and character breeds destiny.
Que sera-sera,what will be, will be. (Jay Livingston)
Mantan KSAU, Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)