Anies Akui ke Media Asing: Januari, Sempat Dilarang Lakukan Tes Covid-19

Anies Akui ke Media Asing: Januari, Sempat Dilarang Lakukan Tes Covid-19

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kepada media Australia, The Sydney Morning Herald, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku sempat dipersulit pemerintah pusat dalam pencegahan wabah virus corona covid-19.

Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan, disebut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, sempat tak mengizinkan Pemprov DKI Jakarta melakukan tes covid-19 pada Januari lalu.

Padahal, kata Anies, Pemprov DKI Jakarta telah mendeteksi keberadaan wabah virus corona di Indonesia sejak Januari atau dua bulan sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus infeksi pertama pada 2 Maret 2020.

"Ketika jumlahnya mulai naik terus, pada waktu itu kami tidak diizinkan melakukan pengujian. Jadi, setiap kali kami memiliki kasus, kami mengirimkan sampel ke lab nasional (yang dikendalikan pemerintah)," kata Anies dikutip dari The Sydney Morning Herald, Jumat (8/5/2020).

"Dan kemudian lab nasional akan menginformasikan, positif atau negatif. Pada akhir Februari, kami bertanya-tanya mengapa semuanya (sampel tes) dikatakan negatif?" tambahnya.

Dalam prosesnya, usaha Pemprov DKI Jakarta dalam menangani wabah virus Corona memang kerap tak sejalan dengan pemerintah pusat.

Permintaan Anies Baswedan untuk memberlakukan karantina wilayah di Jabodetabek pada akhir Maret lalu bahkan ditolak mentah-mentah oleh Istana Negara.

Sebagai gantinya, Presiden Joko Widodo justru memilih menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang secara aturan tak seketat karantina wilayah alias lockdown.

Kekinian, pemerintah pusat menyampaikan narasi-narasi optimistik bahwa curva infeksi virus Corona di Indonesia mulai mengalami penurunan.

Gugus tugas COVID-19 Indonesia juga memprediksi masyarakat bisa kembali kekehidupan normal pada Juni atau Juli kendati waktunya disebut-sebut kembali mundur hingga Agustus.


Hal itu kemudian dibantah oleh Anies. Menurutnya, dari data yang pihaknya himpun, belum ada tanda-tanda curva infeksi Covid-19 di Tanah Air akan segera melandai.

Anies juga menyindir pemerintah pusat yang dinilainya kurang menganggap penting ilmu pengetahuan dan hasil penelitian sebagai dasar kebijakan memerangi Covid-19.

"Mengapa saya tidak ingin membuat prediksi? Karena saya melihat data, itu tidak mencerminkan sesuatu yang akan segera berakhir," jelas Anies.

"Itulah yang dikatakan oleh para ahli epidemiologi. Ini adalah waktu di mana para pembuat kebijakan perlu mempercayai ilmu pengetahuan."

Lebih jauh, Anies juga mengaku frustrasi dengan tidak kompaknya kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kemenkes disebutnya tak transparan soal data.

"Dari pihak kami, bersikap transparan dan memberi tahu (orang) apa yang harus dilakukan adalah memberikan rasa aman. Tetapi Kementerian Kesehatan merasakan sebaliknya, bahwa transparansi akan membuat panik. Itu bukan pandangan kami," ungkap Anies.

Demi mendukung klaimnya, Anies mengungkapkan bahwa Jakarta memiliki lebih banyak kasus dari angka resmi pemerintah yakni 4.770 infeksi dan 414 kematian.

Tingginya angka kematian akibat Covid-19 di Jakarta disebut Anies dapat terungkap dari lonjakan jumlah pemakaman yang begitu masif dalam beberapa bulan terakhir.

Pada paruh kedua Maret, jumlah pemakanan di DKi Jakarta mencapai 4.300 layanan, sementara pada April 4.590.

Sebelum wabah virus Corona, rata-rata jumlah pemakaman di Jakarta adalah 3 rbu layanan. Hal ini menunjukan kenaikan sebanyak rata-rata 1.500 kematian perbulannya.

"Kelebihan kematian ini adalah kasus COVID probabilitas tinggi, dan kemudian jika kita mengatakan lima hingga 10 persen (angka kematian), mungkin di luar sana, ada 15 hingga 30.000 infeksi [di Jakarta]," ungkap Anies.

"Kami pikir jumlah (kematian dan infeksi) jauh lebih tinggi dari apa yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan," tandasnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita