GELORA.CO - Pemerintah sejak setelah menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat langsung bergegas, membuat sejumlah kebijakan yang mendukung keberlangsungan sosial dan ekonomi masyarakat tetap berjalan di tengah pandemi virus corona baru (Covid-19).
Salah satu yang menjadi polemik hingga saat ini adalah penambahan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun, yang katanya dikhususkan untuk penanganan virus asal Wuhan, China ini.
Dalam ketetapan menambah anggaran sebesar ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2020.
Namun pertanyaannya, apakah dasar hukum yang digunakan ini tidak melanggar Undang-Undang yang mengatur perosalan keuangan negara, yakni UU 17/2003, dan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) 138/2019?
Hal inilah yang kemudian dibahas terperinci oleh Pakar Hukum Tata Negara Bachtiar Baetal, dalam dialog virtual bertajuk " Peran Pemerintah Dalam Menangani Wabah Covid-19", yang diselenggarakan HMI Cabang Ciputat, Komisariat Pamulang, Jumat (1/5).
Dalam pemaparannya, Bachtiar Baetal mengatakan bahwa dikeluarkannya Perppu dikarenakan adanya kegentingan yang memaksa. Namun untuk mengukur kegentingan yang memaksa tersebut, UUD 1945 dalam pasal 22 ayat 1 menyebutkan 2 indikator.
"Pertama, kegentingan yang memaksa ukurannya UU keuangan negara yang membatasi defisist belanja negara maksimal 3 persen dari PDB. Sementara untuk mengatasai penyebaran covid negara membutuhkan tambahaan anggaran sebesar Rp 405,1 trilun," ujar Bachtiar Baetal.
"Cilakanya, disamping anggaran tersebut tidak ada di dalam APBN, juga akibat tambahan anggaran itu akan berdampak pada pembiayaan defisit anggaran yang melampaui 3 persen," sambungnya.
Kemudian kegentingan yang kedua adalah, terdapat kondisi di mana pemerintah harus melakukan realokasi dan refocusing anggaran. Akan tetapi kata Bachtiar Baetal, tindakan realokasi dan refocusing anggaran harus ada dasar kewenangannya.
"Kebetulan di UU itu (UU Keuangan Negara) tidak memberikan dasar kewenangan untuk melakukan refocusing dan relaoaksi. Sehingga, dengan dua alasan ini kemudian dijadikan alasan pemerintah sebagai kegentingan yang memaksa, sehingga muncullah perpu 1/2020," tuturnya.
Namun demikian, keputusan MK 138/2019 menetapkan bahwa ada tiga batasan bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu. Yaitu, adanya keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan permasalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, adanya kekosongan hukum untuk menetaokan suatu kebijakan.
Kemudian yang ketiga, karena keadaan yang mendesak dan kekosongan hukum tersebut, pemerintah tidak bisa menempuh cara atau prosedur yang biasa, dalam menyelesiakan suatu permasalahan yang genting ini.
"Pertanyaannya sekarang, apa iya kemudian ada keadaan yang mendesak itu? Apa iya terjadi kekososngan hukum? Apa iya bahwa kekosongan hukum itu tidak bisa ditangani dengan prosedur baisa?," gumam Bachtiar Baetal.
Oleh karena itu, jika mencermati UU Keuangan Negara 17/2003 pasal 27 ayat 3,4 dan 5, disebutkan bahwa pemerintah bisa melakukan penyesuaian APBN dengan perkembangan dan perubahan anggaran, yang sesuai kondisi terkini yang dihadapi negara.
Termasuk, dijabarkan Bachtiar Baetal, pemerintah bisa melakukan pergeseran anggaran dalam keadaan darurat, dan pemerintah dapat mengelola anggaran yang belum tersedia anggarannya di APBN. Tetapi sepanjang diusulkan di dalam RUU perubahan APBN.
"Dimintai persetujuannya dengan DPR. Jadi kesimpulan saya tidak ada kekosongan hukum. Karena UU keuangan negara telah memberikan jalan keluar bagaimana tata kelola anggaran dilakukan dalam keadaan darurat. Tahun 2014 itu pernah melakukan perubahan UU MD3 yang super kilat. Kenapa tidak dalam kondisi ini dilakukan perubahan?," ungkap Bachtiar Baetal.
Jadi menurut saya, dari sisi prosedur Perppu ini masih ada persoalan. Ini kita belum masuk dari sisi subtantifnya, dari sisi materi muatannya. Dari sisi prosedur saja ini melanggar konstitusi," pungkasnya.(rmol)