GELORA.CO - Kebijakan pembebasan napi demi mencegah corona di penjara masih menimbulkan polemik. Sebab napi yang kembali berulah usai bebas terus bertambah jumlahnya.
Namun menurut Menkumham, Yasonna Laoly, cerita napi-napi yang berulah terkesan menyudutkan program pembebasan tersebut.
Padahal, kata Yasonna, program pembebasan itu merupakan kebijakan humanis untuk mengurangi kelebihan kapasitas di penjara.
"Cerita horor tentang pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana seolah-olah ingin menyudutkan kebijakan yang humanis ini," ujar Yasonna dalam sambutannya di acara Hari Bakti Pemasyarakatan (HBP) ke-56 di Kemenkumham, Jakarta, Senin (27/4).
Yasonna tak menampik terdapat napi yang kembali berulah walau baru bebas dari penjara. Namun jumlah napi yang berulah, kata Yasonna, sangat sedikit ketimbang yang dibebaskan.
"Memang terdapat 21 laporan terkait pelanggaran kembali, namun ini sangat kecil jumlahnya jika dibanding dengan 38 ribu orang yang dikeluarkan, tidak signifikan,” tegas Yasonna.
Ia pun menyesalkan banyaknya hoaks yang beredar terkait pembebasan napi tersebut. Salah satunya menyebut program pembebasan napi akan menciptakan teror di masyarakat.
“Saya sangat menyesalkan adanya oknum-oknum yang menyebarkan hoaks melalui media sosial bahwa akan ada gelombang besar narapidana yang keluar dari lapas dan ini akan menebarkan teror terhadap keamanan masyarakat," ucapnya.
Yasonna menegaskan, program pembebasan napi tersebut bukan asal-asalan. Ia menyatakan Komisi Tinggi PBB telah memberikan pertimbangan bahwa setiap orang yang berada di penjara dengan kondisi yang overcrowded dan tidak dimungkinkan adanya physical distancing, sebaiknya dibebaskan sementara.
Program pembebasan napi itu pun telah dilakukan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Iran, Afghanistan, Jerman, Kanada, Australia, dan Polandia. []