GELORA.CO - Pimpinan KPK jilid V menyatakan menyetujui langkah akrobat Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, untuk membebaskan narapidana kasus korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan.
Sejalan dengan itu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akan direvisi.
Pembebasan koruptor itu mengundang reaksi keras dari banyak kalangan. Wartawan senior Dandhy Dwi Laksono memasukkan pembebasan koruptor dalam daftar penumpang gelap wabah Covid-19.
“Daftar Penumpang Gelap Wabah Corona: 1. DPR yang ngotot bahas Omnibus Law. Sementara rakyat tak bebas berkumpul. 2. Pembebasan koruptor (padahal selnya sudah physical distancing). 3. Pejabat sipil/polisi/militer yang mewacanakan Darurat Sipil (padahal cukup Karantina Wilayah),” tulis Dandhy di akun Twitter @Dandhy_Laksono.
Sindiran keras dilontarkan pengamat politik Hendri Satrio. “Menteri ini, idenya membuat mata koruptor berkaca-kaca, hati koruptor bergetar, tangan koruptor meninju langit dan berteriak lantang "koruptor bersatu tak bisa dikalahkan!" Di belakang koruptor pecandu narkoba mengamini #Hensat,” tulis Hendri di akun @satriohendri mengomentari langkah Yassona Laoly.
Sedangkan aktivis pergerakan Islam Sumantri Suwarno menyebut “koruptor bebas karena Covid-19” masuk kategori “black swan”.
“Covid19 sendiri bukan termasuk kategori black swan - yaitu kejadian yang tidak ada di bayangan orang akan terjadi. Koruptor bebas karena Covid19 ini yang masuk kategori black swan,” tulis Mantris di akun @mantriss.
Budayawan Sujiwo Tedjo mengingatkan agar pembebasan koruptor didiskusikan, apakah hal itu memenuhi rasa keadilan.
“Pembebasan/sebaliknya penghukuman koruptor harus didasarkan rasa keadilan baik bagi yang bersangkutan maupun masyarakat yang terdampak korupsi. Apakah pembebasan napi koruptor karena Corona memenuhi rasa keadilan itu? Monggo diskusinya pada wilayah ini. Demikian logika #Math mendidikku,” tulis Sujiwo Tedjo di akun @sudjiwotedjo.
Sebelumnya, peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai bahwa sikap Pimpinan KPK yang mendukung revisi PP 99/2012 itu tidak memahami proses-proses yang mengebiri kasus korupsi. "Kami tak terlalu kaget, karena mereka tidak memahami proses-proses yang mengebiri kasus korupsi," kata Kurnia Ramadhana seperti dikutip vivanews (02/04).
Kurnia membandingkan masa pimpinan KPK jilid sebelumnya dengan lembaga antirasuah di bawah komando Ketua Firli Bahuri. Menurut Kurnia, KPK terdahulu selalu menolak revisi PP tersebut.(*)