GELORA.CO – Pemerintah Kenya mengecam Cina atas diskriminasi terkait penanganan virus corona terhadap warganya di Provinsi Guangzhou. Kenya bersikeras bahwa tidak ada warganya di sana yang meninggal akibat Covid-19.
Kejadian itu berawal dari postingan sebuah video di media sosial. Warga Kenya yang tinggal di Cina memposting video yang menggambarkan diskriminasi rasial terhadap mereka dan warga Afrika lainnya saat pandemi Covid-19 berlanjut.
Orang Afrika diusir dari apartemen dan hotel, meskipun tidak memiliki riwayat perjalanan atau kontak dengan pasien Covid-19.
“Ini sangat disayangkan. Orang Afrika, termasuk Kenya, telah didiskriminasi dalam proses tanggap pemerintah provinsi selama krisis dalam beberapa bulan terakhir,”kata Sekretaris Kepala Urusan Luar Negeri Macharia Kamau pada konferensi pers, Selasa(14/4).
Kenya menuding Cina melakukan diskriminasi dan menargetkan berbagai orang asing dalam upaya tanggap mereka dan Uni Afrika telah merespons secara kolektif melalui konsultasi.
Kamau berterima kasih kepada Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa atas tanggapannya terhadap serangan terhadap warga Afrika sebagai ketua Uni Afrika.
Duta Besar Cina untuk Kenya Wu Peng telah meyakinkan Kementerian Luar Negeri bahwa warga Kenya dan Afrika di Cina akan diberikan perlindungan yang layak mereka terima.
Kenya dan Cina juga sepakat bahwa insiden itu tidak akan merusak hubungan bilateral antara kedua negara.
Perkembangan terakhir terjadi ketika Kementerian Luar Negeri Kenya melaporkan bahwa lima orang Kenya meninggal akibat virus korona di Amerika Serikat.
Sementara itu, Direktorat Investigasi Kriminal Kenya telah memperoleh perintah pengadilan yang memungkinkannya untuk menahan seorang pastor Katolik yang bermarkas di Roma yang dituduh sengaja menginfeksi orang dengan virus corona.
Richard Oduor dinyatakan positif setelah kembali ke Kenya dari Roma, Italia, pada 10 Maret tetapi tetap melanjutkan pekerjaannya.
Otoritas Pelabuhan Kenya mengatakan tujuh karyawannya telah terinfeksi Covid-19 dan dua di antaranya meninggal dunia. Negara itu mencatat kasus pertamanya pada 13 Maret dan jumlahnya meningkat menjadi 216.(*)