INILAH ironi pemerintahan Joko Widodo: hasil proses demokrasi kini justru menunjukkan sisi otoriternya. Makin ironis karena gejala ini menguat di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 alias Covid-19. Tindakan represif aparat akan mempersulit upaya membangun solidaritas masyarakat, yang sangat diperlukan untuk mengatasi dampak wabah.
Wajah garang penguasa terlihat pada penangkapan Ravio Patra pada Rabu malam, 22 April lalu. Peneliti kebijakan publik itu disergap polisi dengan tuduhan memancing keonaran dan menebarkan kebencian. Sulit melepaskan tindakan itu dari kritik yang dilancarkan Ravio kepada pemerintah. Ia menyoroti, antara lain, konflik kepentingan anggota staf khusus milenial Presiden.
Aparat jelas telah menyalahgunakan kewenangan. Sebab, belakangan, polisi mengumumkan bahwa Ravio ditangkap dalam status sebagai saksi, bukan tersangka. Lazimnya, saksi bisa dicokok setelah tiga kali tak mengindahkan panggilan pemeriksaan. Makin berlebihan karena pada saat pemeriksaan, telepon seluler dan komputer jinjing Ravio juga disita.
Penangkapan itu juga diwarnai dugaan peretasan perangkat komunikasi Ravio. Sebelum ia ditangkap, akun WhatsApp-nya diambil alih pihak lain, yang kemudian mengirimkan ajakan menjarah. Pesan itulah yang dijadikan dasar tuduhan polisi bahwa Ravio menyebarkan keonaran. Padahal, dengan analisis sederhana, misalnya membandingkan gaya penulisan peneliti itu di berbagai media sosial, jelas sekali perbedaannya dengan kalimat pada "ajakan menjarah" melalui akun WhatsApp-nya.
Wajah beringas penguasa bahkan ditujukan kepada aktivis yang sedang menggalang bantuan. Contohnya pembubaran pertemuan relawan dapur umum Solidaritas Pangan Jogja di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yogyakarta oleh aparat kepolisian dan kelurahan pada Sabtu, 18 April lalu. Polisi berdalih pembubaran dilakukan untuk mencegah kerusuhan. Di tempat lain, polisi memukul kepala aktivis Gusdurian Peduli yang mengantar makanan ke Posko PAM Covid-19 di Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Salah satu faktor pemicu sikap represif aparat itu bisa jadi surat telegram Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Idham Azis, yang meminta jajarannya melaksanakan patroli cyber. Tujuannya adalah mengawasi berita opini dan hoaks yang terkait dengan Covid-19 dan kebijakan pemerintah. Dia juga memerintahkan jajarannya memonitor jika ada warga yang "menghina penguasa". Tak aneh, setelah surat 4 April 2020 ini, penangkapan meluas dan masif.
Jokowi semestinya segera menghentikan tindakan berlebihan aparatnya itu. Sebab, Kepolisian Negara berada langsung di bawah kekuasaan Presiden. Ia perlu memastikan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi ini dijaga. Era kegelapan Orde Baru, yang memberangus hak asasi manusia, tak boleh terulang.
Kritik publik kepada pemerintah merupakan vitamin dalam negara demokrasi. Apalagi di tengah kekuasaan eksekutif yang hampir absolut dengan menggenggam sebagian besar kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat. Pandangan berbeda bukanlah racun yang harus disingkirkan, termasuk dengan menuduhnya sebagai biang keonaran.
Kriminalisasi dan pembungkaman publik sudah selayaknya dihentikan. Wajah otoriter justru akan memperlemah kredibilitas pemerintah. Padahal kredibilitas pemerintah itu sangat diperlukan untuk menggerakkan publik, membangun solidaritas sesama warga, guna mengatasi kesulitan akibat pandemi. []
Sumber: tempo.co