GELORA.CO - Pernyataan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar yang mengumpat “goblok” untuk ditujukan pada pembantu presiden mendapat kritik.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai teriakan itu selain tidak baik, juga sangat tidak mendidik di ruang publik.
“Selain itu, dia pun menyebut negara sudah mau "bangkrut". Ini tindakan komunikasi politik hiperbola dan berpotensi memanipulasi persepsi publik. Hati-hati dengan pilihan diksi ini,” ujarnya kepada redaksi, Senin (27/4).
Penggunaan dua diksi tersebut, menurut Emrus, sudah melampaui kewajaran komunikasi di ruang publik. Terlepas apapun yang mendasari pemakaian diksi tersebut.
Diksi goblok dalam narasi dikemukakan oleh Sehan dari aspek komunikasi politik termasuk kategori pesan sangat merendahkan manusia lain. Sekaligus secara tindak langsung dia memposisikan dirinya sebagai superior, benar sendiri dan lebih tinggi dari orang lain.
“Selain tidak tepat, penggunaan diksi goblok dari siapapun kepada siapapun, apapun status sosial para pihak, tidak dibenarkan,” terangnya.
Goblok, sambung Emrus, dari aspek denotatif bisa diartikan sebagai bodoh sekali. Orang yang disebut goblok, sebagaimana dikemukakan Sehan, sama saja memiliki lemah pengetahuan, dangkal pengalaman tentang sesuatu dan dipandang sangat rendah.
“Padahal, setiap manusia punya keunikan dan kelebihan masing-masing, apalagi yang dituju itu menteri. Ingat, setiap manusia sama derajatnya di dalam konstitusi kita,” sambung Emrus.
Pun jika dilihat dari aspek hakekat manusia. Tidak satupun manusia di muka bumi yang goblok. Bahkan yang mengatakan goblok kepada orang lain, tidak tepat juga dia disebut sebagai goblok. Karena itu, penyebutan goblok kepada manusia lain sudah melampaui batas.
Di samping itu, jika seseorang pejabat, bupati misalnya, apalagi dari partai yang memuliakan manusia sebagai ciptaaan Tuhan Yang Maha Esa, sangat tidak pantas menyebut goblok kepada sesama manusia. Diksi goblok yang dilontarkan Sehan sangat jauh dari aksiologi (moral dan etika) komunikasi.
Oleh karena itu, seorang pemimpin dalam situasi dan kondisi apapun, pesan yang diucapkan di ruang publik harus selalu mengindahkan tata krama dan sekaligus mengandung unsur mendidik.
“Ucapan Sehan sejenis ini, oleh siapapun, utamanya pejabat publik, tidak boleh terulang di ruang publik,” tegas Emrus.
Sementara mengenai penyebutan negara sudah mau bangkut juga berlebihan dan sangat tidak tepat, karena tidak bebasis fakta, data dan bukti serta analisis yang menyertai.
Sehan, kata Emrus telah membesar-besarkan persoalan atau situasi. Sebab, bangkrut bisa diartikan "gulung tikar" alias bubar. Selain bermakna pesimis, diksi ini berpotensi menciptakan opini publik sangat tidak produktif terhadap eksistensi negara kebangsaan kita.
“Karena itu, diksi tersebut selayaknya tidak terucap dari seorang pemimpin dalam keadaan apapun. Kalaupun itu karena "keseleo lidah", tidak ada salahnya secepat mungkin minta maaf,” tekannya.(rmol)