GELORA.CO - Pembebasan 30 ribu sampai 35 ribu narapidana oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dengan adanya program asimilasi dan integrasi di tengah pandemik Covid-19 berujung kontroversi.
Pasalnya, ada beberapa warga binaan yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman, baru bisa bebas setelah membeli "tiket" asimilasi jutaan rupiah dari oknum petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah berpandangan, tidak ada lagi alasan bagi Presiden Joko Widodo untuk tidak mencopot Menkumham Yasonna H. Laoly.
"Presiden semestinya miliki cukup alasan untuk mencopot Yasonna, dan lakukan audit besar-besaran untuk Kemenkumham, terutama gagasan yang jelas-jelas tidak baik bagi negara," kata Dedi Kurnia Syah, Rabu (15/4).
Sebab, menurut Dedi, sejak awal ide pembebasan napi tersebut sulit diterima oleh akal sehat. Di tengah pandemik Covid-19, puluhan ribu napi justru dibebaskan.
"Sejak awal ide pembebasan ini di luar nalar yang baik, ada kesan Yasonna miliki agenda lain yang justru berpihak pada kemunduran," sesalnya.
Atas dasar itu, pengamat politik dari Universitas Telkom ini menilai Menkumham adalah orang yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas situasi ini. Sebab, praktek kotor "tiket" asimilasi yang harus dibeli puluhan ribu napi dari oknum petugas Lapas merupakan bentuk korupsi.
"Tentu Menkumham adalah orang paling bertanggungjawab, tidak saja karena indikasi kasus tiketing pembebasan, tetapi juga karena telah salah mengambil kebijakan yang berakibat kejahatan," pungkasnya.
Diberitakan, seorang napi berinial A (37), diminta uang Rp 5 juta oleh oknum petugas demi bisa dapat tiket asimilasi. Menurut narapidana Lapas Cipinang itu, jika tidak membayar uang tersebut, dirinya tidak bisa ikut program asimilasi dan bebas dari penjara.
Narapidana Lapas Cipinang lainnya, S (41) juga mengaku dimintai uang agar dapat menjalani sisa masa tahanan di rumah bersama keluarga. Dia menuturkan para narapidana yang 'ditarik' uang demi dapat asimilasi tidak keberatan karena mereka dapat bebas meski rutin wajib lapor.
Ditambahkan S, berada di rumah dengan keluarga lebih baik ketimbang di penjara karena harus mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan. (*)