Oleh:Arief Gunawan
IMPERIUM pernah dipimpin penguasa kejam, berjiwa labil, dan tak punya kemampuan politik. Namanya Caligula.
China pernah dikuasai sama anak kecil umur dua tahun.
Pu Yi jadi kaisar dari dinasti Qing sejak pamannya mati, dan karena wasiat ibu suri.
Di Afrika ada penguasa diktator kanibal yang untuk obat awet muda kabarnya suka sarapan daging bayi.
Idi Amin Dada Umee presiden Uganda, bekas koki yang lalu jadi petinju.
Kolonialis Inggris angkat dia jadi presiden karena: “tiada berpendidikan and lebih kejem...“
Menurut teori, orang semacam ini sangat taat sama bohir.
Di Republic Of The Philippines ada presiden yang manut banget sama istri.
Nyonya Imelda sedemikian royal karena bujukin terus Marcos korupsi. Sehingga Malacanang bagaikan Versailles.
Mataram pernah dipimpin boneka Belanda, Amangkurat II yang kejam, yang menggadaikan infrastruktur pelabuhan sepanjang Pantura sampe Karawang.
Kekuasaanya penuh mistik dan hawa kematian.
Paku Buwono II sujud sama VOC. Bikin Perjanjian Ponorogo, 1743, yang matikan jiwa bahari masyarakat Jawa & larang rakyat bikin perahu.
Di era politik modern seperti hari ini praktek pilih pemimpin boneka yang dikendalikan pihak lain sudah saatnya dihentikan.
Pemilihan “capres dalam karung” hasil oligarki partai-partai di Senayan melalui Presidential Treshold kini kian terbukti hanya menyengsarakan rakyat.
Hanya magnit bagi anasir jahat, seperti buzzeRp, taipan anasionalis serakah & pro status quo tribalis-primordial, dan kelompok-kelompok yang diuber dosa masa lalu...
Pemimpin demikian tak punya kemampuan saat negara diterjang krisis seperti yang terjadi hari ini.
Tak mampu memberikan solusi, sehingga memilih berlindung di balik kekuasaan & para centeng.
Generasi Sukarno, Hatta, dan seangkatan mereka justru menunjukkan kelas ketika krisis terjadi.
Mereka menunjuki jalan. Memandu rakyat keluar dari kegelapan. Membawa suluh yang menerangi.
Pemimpin sejati lahir pada masa krisis bukan gorengan lembaga survei penganjur pencitraan.
Tokoh-tokoh seperti Dr Rizal Ramli yang di luar maupun di dalam kekuasaan berpihak kepada kebenaran memberikan contoh-contoh dengan konsistensi, solusi, dan keberanian.
Rizal seperti mengamalkan pesan tulisan Sukarno di tahun ‘30-an: “Menjadi Guru Di Masa Kebangunan”.
Solusi-solusinya memberikan optimisme dan keyakinan di masa krisis seperti ini, seperti ungkapan R.A Kartini yang optimistik, yang di tangan Rizal dapat diwujudkan.
Karena Rizal tipe operational leadership, yang dengan reputasi dan prestasinya dapat membawa terang sehabis gelap bagi bangsa dan negeri ini.
“Door duisternis tot licht. Habis gelap terbitlah terang”.
(Wartawan senior)