GELORA.CO - Baru-baru ini Presiden Donald Trump menyampaikan hendak menuntut China atas kerugian yang diderita oleh AS akibat penyebaran pandemi COVID-19. Tapi mungkinkah?
"Permasalahan utama dalam mendapat ganti kerugian yang diderita adalah kemana gugatan itu dilayangkan, apa yang menjadi dasar gugatan, dan apakah putusan dapat dieksekusi," kata guru besar UI, Prof Hikmahanto Juwana kepada wartawan, Rabu (29/4/2020).
Di mana sebuah koran di Jerman pun melakukan kalkulasi kerugian yang diderita di Jerman. Di Inggris juga ada pihak yang mengungkap hal senada. Bahkan, di AS Jaksa Agung negara bagian Missouri telah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan setempat.
"Bila gugatan dilayangkan ke pengadilan di suatu negara maka pemerintah China akan mudah mematahkannya dengan alasan pemerintah China memiliki kekebalan (immunity) di lembaga peradilan nasional," ujar Rektor Universitas Ahmad Yani itu.
Bila diajukan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau arbitrase internasional seperti Permanent Court of Arbitration maka China harus menyatakan persetujuan terlebih dahulu untuk menjadi pihak yang digugat.
"Tentu pemerintah China tidak akan memberikan persetujuan tersebut," cetus Prof Hik.
Intinya, kata Hikmahanto menegaskan, membawa pemerintah China ke lembaga peradilan maupun arbitrase nasional maupun internasional akan sia-sia. Sekalipun yang mengajukan adalah pemerintah suatu negara.
"Kalaupun ada lembaga peradilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili, isu berikutnya adalah apa yang menjadi dasar gugatan," beber Hikmahanto.
Dasar yang digunakan oleh banyak pihak adalah tidak transparannya pemerintah China diawal penyebaran COVID-19. Dalam hukum pihak yang menggugat wajib membuktikan apa yang didalilkan.
"Tentu ini tidak akan mudah bagi siapapun yang menggugat China karena pemerintah China akan tidak memberi akses kepada siapapun untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dari negara China," ucap Hikmahanto.
Kalaulah ada suatu pengadilan yang memutuskan China bersalah dan mewajibkan pembayaran ganti rugi, maka permasalahan berikutnya adalah bagaimana putusan tersebut dieksekusi. Satu hal yang pasti pemerintah China tidak akan dengan sukarela menjalankan putusan.
"Putusan dari lembaga peradilan hanyalah 'menang' di atas kertas. Untuk benar-benar merasakan kemenangan tersebut perlu untuk dijalankan atau dieksekusi," ungkap Hikmahanto.
Memang terdapat aset-aset China yang tersebar di berbagai negara. Namun saat dieksekusi akan dihalangi dengan alasan aset tersebut memiliki kekebalan (bila berkaitan dengan aset kedutaan besar) atau aset tersebut bukan milik pemerintah China, melainkan BUMN China atau swasta asal China.
"Menuntut ganti rugi dari negara yang dianggap bertanggung jawab atas suatu tindakan yang dilakukan bukanlah hal baru," kata Hikmahanto.
Pasca Perang Dunia Kedua, misalnya, banyak pihak yang menuntut ganti rugi atas tindakan penjajahan. Namun proses ganti rugi ini tidak dilakukan melalui lembaga peradilan, namun melalui proses di luar lembaga peradilan.
Proses seperti ini harus dimulai dari kesadaran negara yang memunculkan kerugian.Negara tersebut kemudian menyepakati dengan negara yang dirugikan bentuk-bentuk ganti kerugian. Pasca Perang Dunia Kedua ini yang dikenal dengan sebutan pampasan perang.
"Dalam konteks COVID-19, tentu pemerintah China bisa memberikan pampasan bagi negara-negara terdampak. Bila dikalkulasi tentu biaya yang harus dikeluarkan akan sangat fantastis. Sepertinya pemerintah China tidak akan melakukan opsi ini," pungkas Hikmahanto.(dtk)