GELORA.CO - Hasil penelitian ilmuwan Harvard mengenai prediksi kasus virus corona di Indonesia kembali mengemuka. Penelitian tersebut sempat dianggap oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sebagai sebuah penghinaan terhadap Indonesia.
Penelitian yang dibuat oleh Marc Lipsitch tersebut menyimpulkan setidaknya ada lima orang yang positif corona di Indonesia pada awal Februari lalu. Saat itu, pemerintah Indonesia masih menyatakan wilayahnya aman dari paparan virus corona, disaat negara tetangga telah melaporkan sejumlah kasus.
Saat hasil penelitian dirilis, Terawan mengklaim peralatan yang digunakan Indonesia sudah sesuai dengan standar World Health Organization (WHO).
“Itu namanya menghina itu. Wong peralatan kita, makanya kemarin di-fix-kan dengan duta besar Amerika. Kita menggunakan dari Amerika. Kitnya, kit boleh gunakan dari manas aja, tapi kita gunakan dari Amerika,” ujar Terawan di Gedung Grand Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 11 Februari 2020 lalu dikutip dari Hops.id -- jaringan Suara.com.
Kala itu, Terawan menantang peneliti Harvard untuk datang ke Indonesia dan melihat sendiri kecanggihan alat yang dimiliki Indonesia.
Padahal tak lama setelah penelitian Harvard itu dirilis, bahkan hanya jeda beberapa minggu setelah Pemerintah Indonesia ‘mendamprat’ peneliti Harvard, tepatnya pada awal Maret 2020 kasus positif pertama di Indonesia ditemukan di Depok.
Profesor Harvard tanggapi balik sikap Indonesia soal penelitiannya
Seorang mahasiswi asal Indonesia yang sedang menempuh gelar magister Kesehatan Masyarakat di Universitas Harvard, Nadhira Nuraini Afifa melakukan konfirmasi langsung melalui wawancara ekslusif dengan Marc Lipsitch.
“Profesor Marc Lipsitch adalah epidemiologis dari Harvard. Dia melakukan riset prediksi dengan matematika modeling. Intinya dia melakukan linear regression model yang membandingkan antara data volume perjalanan dari Wuhan dibandingkan dengan jumlah kasus per hari negara yang berpotensi corona,” ujarnya dalam video yang diunggah di akun Youtube pribadinya Nadhira Afifa pada 13 Februari 2020.
Awalnya Nadhira menanyakan soal penelitian yang dilakukan Profesor Marc, juga pendapatnya tentang respons pemerintah Indonesia terhadap risetnya.
“Kami tidak sengaja memfokuskan pada satu negara tertentu. Saat kami memulai ini, kami memperhatikan semua negara. Dan tujuannya juga bukan untuk menilai kualitas dari sebuah negara. Namun sebagai contoh dalam situasi seperti ini seharusnya sudah ada kasus terdeteksi tetapi nyatanya mereka mengaku tidak ada,” ujarnya.
Sejak awal menurutnya penelitian ini sama sekali tidak ditujukan untuk indonesia. Itu hanya bagian dari penelitian yang dilakukan. “Kami juga menyebut bahwa Thailand mungkin sudah berhasil mendeteksi banyak kasus, tapi sebetulnya masih banyak yang belum terdeteksi.”
Ia mendalami bahwa Singapura pun yang memiliki frekuensi deteksi paling tinggi dibanding negara lain, mengingat banyaknya wisatawan dan pengunjung yang mereka miliki.
Nyatanya Singapura mendeteksi lebih banyak kasus dari yang diduga dalam penelitiannya, terlebih mereka bahkan menemukan bahwa masih banyak kasus yang terlewat karena tidak bisa mereka deteksi. Artinya mungkin ada introduksi kasus n-CoV yang terlewat sebelumnya.
Kemudian ia menanggapi respons pemerintah Indonesia terhadap risetnya. “Menurut saya adanya kasus yang terlewat bukanlah suatu penghinaan, karena setiap negara mungkin saja mengalaminya,” ujarnya.
Baginya penelitian ini hanya sebuah red flag, sebuah kondisi di mana kita patut waspada dan tanggapi.
“Dan seperti yang sering saya katakan ke banyak orang fungsi public health adalah untuk menemukan potensi masalah dan memperingati pihak yang mungkin akan terkena dampaknya, tidak berarti potensi masalah tersebut akan selalu jadi kenyataan, tapi sudah sepatutnya kami memberi alarm,” ujarnya.
Sekali lagi, ia menjelaskan bahwa dirinya tidak bermaksud konstrukstif, ia mengatakan diinya sangat terbuka dengan sharing dan tak keberatan membantu jika dibutuhkan. “Dan ini sama sekali tidak bermaksud menyerang negara manapun.”
Hanya Indonesia yang merespons negatif soal risetnya
Lebih lanjut Profesor Marc mengatakan dirinya tidak menyangka akan ada respons seperti itu soal risetnya. Apalagi dalam pernyataan Menkes Terawan, Indonesia ‘tidak menutupi sesuatu’ soal angka positif corona di Indonesia.
“Sejak awal, saya tidak mengantisipasi respons seperti itu. Karena kami tidak bermaksud mengatakan bahwa Indonesia sedang menutupi sesuatu,” ujarnya.
Selain Indonesia ada dua negaranya yang berada di bawah 95 persen Prediction Interval (PI)-nya seperti Thailand dan Kamboja, namun mereka tidak merespons temuannya.
“Saya belum pernah mendengar respons apapun dari negara lain selain Indonesia (terkait riset saya),” ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga mengaku sejak awal merasa bingung terhadap pemberitaan media massa Indonesia yang ia baca.
Ia juga mempertanyakan metode yang digunakan Indonesia saat itu, yang ia pahami bahwa saat risetnya selesai, Indonesia kala itu sedang menanti alat test dari China, dari mana Indonesia bisa mendapatkan hasil nol persen kasus.
“Yang saya pahami dari media sebenarnya cukup membingungkan, bahwa test kit waktu itu belum sampai ke Indonesia hingga akhir dari periode penelitian kami. Jadi jika hal itu benar dan tes kit adalah satu-satunya alat uji di Indonesia, maka ini bukan bentuk cara menutupi melainkan kurangnya alat tes uji,” ujarnya.
Ada pula cara deteksi lain yang tidak menggunakan test kit, misalnya menggunakan metode sequencing. “Mungkin saja sebelum adanya test mereka menggunakan metode sequencing, dan saya tidak tahu harus berkomentar apa mengenai hal tersebut. Namun hal itu memungkinkan orang-orang dites sebelumnya.
“Jika benar (Indonesia saat itu memakai metode sequencing), Anda harus melakukan banyak sekali test uji dan masyarakat harus datang secara volunteer untuk diuji, karena banayak sekali langkah yang harus dilakukan sebelum Anda dapat mendeteksi,” ujarnya.
Meski ia menganggap hasil risetnya kala itu cukup akurat, namun Profesor Marc menganggap risetnya bukan yang paling akurat, mungkin saja meleset.
Ia juga mengatakan mungkin saja benar yang disebut Pemerintah Indonesia bahwa kasusnya waktu itu nol persen.
“Semua hal mungkin saja terjadi. Asumsi kami adalah bahwa 95 persen PI (Prediction Interval), sehingga kemungkinannya kecil kalau nol persen. Namun lagi-lagi penelitian ini tidak sempurna dan prediksinya tidak 100 persen akurat. Bisa saja nol persen tapi itu akan sangat ganjil. Karena di negara yang sudah menemukan banyak kasus saja mungkin melewatkan beberapa kasus (tidak terdeteksi) jadi Indonesia mungkin saja memiliki lebih dari 5. Karena angka 5 didasarkan pada model penelitian yang mungkin tidak sempurna.”
Ia juga menjelaskan kalau penelitiannya ini hanya terfokus pada imported case semata, jadi tak boleh diabaikan yang tertular lewat penularan lokal juga mungkin terjadi.
“Yang saya prediksi 5 kasus di Indonesia itu berdasarkan hitungan turis yang masuk. Karena mungkin saja bisa jadi ada kasus sekunder seperti di Singapura contohnya yang mendeteksi bahwa terdapat beberapa kasus dari turis, namun juga beberapa dari transmisi sekunder misalnya dari warga lokal. Jadi bukanlah hal yang mudah.”
Soal riset Harvard: membuat acuan deteksi bagi negara yang berpotensi corona
Professor Marc mengatakan temuannya didasari karena saat itu dunia sangat terfokus pada exported cases (kasus penularan yang terjadi akibat pergerakan pendatang ke suatu negara). Karena diyakini data dari China tidak menggambarkan jaminan seluruh kasus yang sebenarnya tersebar di dunia, maka ia berusaha membantu.
“Jadi kami berharap pada semua negara untuk mendeteksi kasus secara efektif. Dan selanjutnya menyimpulkan apa yang terjdi di China,” ujarnya.
Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk melihat apakah kasus yang sudah terdeteksi benar-benar merepresentasikan jumlah kasus yang sebenarnya.
“Untuk itu kami mnghitung hubungan statistik antara jumlah pengunjung ke sebuah negara dan jumlah kasus yang terdeteksi, sehingga didapatkan data-data secara internasional.”
Yakni adanya sekitar 14 pengunjung per hari, diasosiasikan dengan munculnya 1 kasus terdeteksi yang kami pantau selama penelitian kami. Dengan standart itu, Indonesia diduga memiliki 5 kasus, padahal nyatanya saat itu pemerintah indonesia menyatakan belum memiliki kasus.[]