Oleh:Syafril Sjofyan
MENANGGAPI berita, sudah seluruh Provinsi di Indonesia menyebar virus Corona Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China. Terakhir Provinsi Gorontalo.
Sungguh sangat miris. Sebagai pemerhati kebijakan publik, saya terbawa emosi, sedih, marah dan kecewa bertumpuk. China dengan tindakan cepat, tegas, dan lugas terlihat kejam dapat melokalisir Covid-19 hanya di Provinsi Hubei dan Kota Wuhan sebagai epicentrum supaya tidak menyebar ke kota dan provinsi lain di China.
Sekarang Indonesia sudah terkepung dengan makhluk kecil tidak kelihatan, Covid-19. Menyebar ke semua provinsi. Pada awal sudah diketahui epicentrum pandemik ada di Jakarta dan sekitarnya (Depok, Bogor, dan Bekasi) telah dilakukan stay at home masing-masing kepala daerah, kantor, dan sekolah tutup.
Penduduk pendatang di DKI dibiarkan exodus pulang kampung. Sebagian diperkirakan menjadi carrier si makhluk halus tersebut ke berbagai provinsi. Di samping pelabuhan, bandara tidak ditutup, AKAP masih tidak distop sampai sekarang. Termasuk kebijakan membiarkan kedatangan TKA asing, khususnya dari China negara asal kuman Covid-19 dengan alasan untuk perusahaan strategis.
Alasan yang sangat kapitalis.
Fatsalnya Indonesia adalah negara hukum dan negara yang memiliki pemerintahan. Presiden dan Wapres dipilih rakyat setiap 5 tahun dengan kabinetnya dengan amanah dan harapan berkinerja baik untuk melindungi seluruh rakyatnya. Mengamati kinerja Presiden Jokowi dan Wapres Maruf Amin dalam melakukan persiapan perang wabah yang melanda dunia, secara kasat mata Pemerintah Jokowi abai dan lamban.
Selama dua bulan dilewati, yakni Januari dan Februari, dengan kesombongan dan keangkuhan. Sama sekali abai tanpa ada kegiatan persiapan. Malah ekspor APD dari Indonesia membanjir ke China. Pertunjukan keangkuhan dan memandang enteng wabah secara kasat mata baik dari pernyataan Presiden Jokowi, Wapres Maruf Amin, Menkes Terawan, dan canda dari beberapa Menteri yang jika diputar ulang sungguh sangat menyakitkan.
Dalam negara hukum tentu ada mekanisme pertanggungjawaban. Secara hierarkis, kekuasaan adalah Presiden Joko Widodo dengan pasangannya Wapres Maruf Amin, di bawahnya ada Menkes Terawan yang memberikan masukan sangat sombong, Menko Mavest Luhut Binsar Panjaitan yang tetap ngotot, agar TKA China tetap masuk. Proyek infrastruktur dan proyek mercusuar tetap jalan.
Pemerintah Pusat abai membiarkan lalu lintas antarprovinsi. Bahkan mudik lebaran membingungkan dari pernyataan para pejabat yang saling berlawanan, padahal mengetahui secara persis lonjakan kasus Covid-19 di Jabodetabek sudah sedemikian rupa meningkat hari ke hari, UU PSBB yang terlambat dan juga sangat longgar baru keluar sebulan setelah kasus diketahui. Sebelumnya beberapa kepala daerah sudah mendesak untuk memperlakukan karantina wilayah, beberapa daerah melakukan lockdown sendiri-sendiri.
Baru kemudian atas desakan kondisi di daerah memberikan izin PSBB. Kondisi ini tidak saja membuat khawatir masyarakat dan kalangan professional kesehatan yang berada di garda depan. Mereka secara pribadi membuat surat terbuka dan juga kelembagaan profesional dokter-dokter. Juga membuat kuatir pemerintah asing sehingga Dubes Australia bersama jajarannya dipanggil pulang.
Saatnya rakyat Indonesia melalui MPR RI meminta pertanggungjawaban presiden atas kelalaian dan kinerja buruk mengatasi pandemik Covid-19 dari Wuhan, China. MPR RI seharusnya sudah harus menjalankan fungsinya.
Alasan bahwa semua negara di dunia juga terkena wabah. Memang betul. Cuma karena abai, lamban, dan keterlambatan antisipasi, penyebaran menjadi luas tidak terkontrol ke seluruh provinsi di Indonesia, jelas tidak bisa ditolerir. Tracing atau penyelusuran terhadap penderita positif Covid-19, ke mana saja mereka beraktifitas sangat sulit dilakukan.
Klaster semakin banyak, pintu masuk bandara dan pelabuhan terbuka, kota dan kabupaten terbuka.
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melakukan perang terhadap wabah dan darurat kesehatan malah mau dilencengkan untuk menjaga kekuasaan dengan rencana darurat sipil dan edaran Kapolri, yakni mengejar dan menindak "penghina" Presiden dan Pejabat Negara. Kebijakan tidak lagi bertujuan melindungi rakyat sesuai UUD, akan tetapi malah melindungi pejabat.
Seharusnya para pejabat malu sudah abai melindungi rakyatnya. Jika di luar negeri, pejabat seperti ini sudah mengundurkan diri.
(Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78)