GELORA.CO - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menjelaskan soal kasus eks caleg PDIP Harun Masiku yang kini keberadaannya masih dicari oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Refly menyoroti mengapa PDIP begitu bersikeras untuk mengangkat Harun Masiku menjadi anggota DPR.
Hingga akhirnya Harun Masiku diduga melakukan penyuapan terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan atas kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW).
Dikutip dari YouTube Refly Harun, Selasa (21/4/2020), awalnya Refly menyoroti sejumlah fakta-fakta aneh pada diri Harun Masiku.
Ia mengatakan kesempatan Harun Masiku menjadi anggota DPR sangatlah kecil, karena perolehan suaranya berada di urutan keenam.
"Kenapa tiba-tiba Harun Masiku ngotot ingin menjadi anggota DPR, padahal perolehan suaranya hanya nomor 6," kata Refly.
Refly juga menyinggung soal upaya PDIP yang terus-terusan memperjuangkan Harun Masiku agar bisa mendapat posisi di Senayan.
"Lalu kemudian kenapa Partai PDIP mau memperjuangkan dia," lanjutnya.
Hingga fakta keterlibatan sejumlah nama besar seperti mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus Harun Masiku.
"Kenapa pula kemudian tiba-tiba harus membayar kepada anggota KPU Wahyu Setiawan yang akhirnya dicopot oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersama mantan anggota Bawaslu Tio Agustina Fridelina, dan satu orang lagi Saiful Bahri," papar Refly.
Meninggalnya Caleg Terpopuler
Refly menjelaskan peristiwa Harun Masiku bermula saat calon legislatif PDIP daerah pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I meninggal dunia.
Pria yang masih merupakan saudara almarhum suami Megawati Soekarnoputri itu telah tutup usia pada tahun 2019.
Tak disangka, nama Nazaruddin kiemas justru memperoleh suara terbanyak saat pemilihan legislatif 2019.
"Ndelalahnya (tak disangka-sangka -red) pada hari H pemilihan, yang bersangkutan (Nazaruddin Kiemas) mendapatkan suara terbanyak, pertama, melebihi calon-calon PDIP lainnya di Dapil Sumsel I," papar Refly.
Refly lalu menjelaskan berdasarkan aturan KPU suara kepada orang yang meninggal tetap sah, namun menjadi suara partai politiknya.
"Aturan KPU mengatakan bahwa suara ini tetap sah dihitung suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, walaupun orangnya sudah meninggal, karena ini adalah sistem proporsional," kata Refly.
Apabila mengikuti aturan KPU suara terbanyak tersebut akan jatuh kepada caleg dengan suara terbanyak nomor dua, dalam kasus ini seharusnya jatuh kepada Riezky Aprillia.
"Tentu saja akan jatuh pada suara terbanyak nomor dua," kata Refly.
Namun karena suatu alasan yang tidak diketahui, Refly mengatakan PDIP masih mengusahakan Harun Masiku yang menduduki kursi DPR, atau Harun Masiku yang ngotot melobi PDIP.
"Rupanya DPP PDIP mungkin menginginkan Harun Masiku atau entah Harun Masiku yang melobi DPP PDIP," ucap Refly.
Namun secara aturan yang berlaku, sangat sulit bagi Harun Masiku mendapatkan suar dari Nazaruddin Kiemas, karena dirinya berada di urutan keenam, sedangkan suara terbanyak akan diprioritaskan untuk dilaokasikan kepada caleg dengan suara terbanyak di bawahnya, yakni urutan kedua, ketiga, dan seterusnya.
"Karena dia cuma nomor enam, secara teoritis kan tidak mungkin dia menggantikan Nazaruddin Kiemas, pasti jatuh pada nomor dua," kata Refly.
PDIP Mulai Bergerak
Refly lalu bercerita akhirnya PDIP mulai mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung (MA) agar suara Nazaruddin Kiemas tetap menjadi miliknya.
"Maka kemudian PDIP mengajukan judicial review kepada ketentuan KPU yang mengatakan bahwa suara yang meninggal adalah tetap sah menjadi suara partai politik, bukan suara orang yang meninggal," papar Refly.
Sedangkan permohonan lainnya, PDIP ingin agar suara yang menjadi milik Nazaruddin Kiemas bisa dialokasikan sesuai keinginan PDIP.
"Kemudian PDIP menginginkan mereka bisa menentukan siapapun yang akan mereka tunjuk sebagai pengisi kursi yang kosong itu, Nazaruddin Kiemas," kata Refly.
Di sini Refly mulai merasa aneh mengapa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sampai mau turun tangan menandatangani surat untuk pengajuan judicial review tersebut.
"Saya tidak tahu kenapa misalnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Sekjen Hasto Kristiyanto mau menandatangani surat kuasa, atau pengajuan judicial review tersebut," jelas Refly.
"Berarti canggih betul lobi Harun Masiku ini," sambungnya.
Namun karena MA menolak permohonan PDIP soal bebas menentukan alokasi suara, akhirnya PDIP bergerak melobi KPU.
"Mahkamah Agung mengatakan itu bukan ranah judicial review, itu adalah ranah yang lain, karena sudah pelaksanaan dari undang-undang," kata Refly.
Sama seperti MA, KPU pun ikut menolak, Refly bahkan setuju atas keputusan KPU menolak permohonan dari PDIP tersebut.
"Ternyata KPU menolak, dan saya setuju penolakan tersebut, karena saya paham orang-orang KPU itu adalah orang-orang yang paham betul dengan pemilu, dengan sistem proporsional terbuka," terangnya.
Dimulainya Kasus Suap KPU
Kemudian setelah Riezky Aprillia dilantik pada 1 Oktober 2019, PDIP belum berhenti memperjuangkan nasib Harun Masiku.
"Tetapi rupanya di tengah jalan Harun Masiku masih ngotot," kata Refly.
Akhirnya PDIP mengajukan mekanisme PAW kepada KPU.
"DPP PDIP masih mengusulkan yang bersangkutan agar bisa PAW (Pergantian Antar- Waktu)," kata Refly.
Tetapi cara tersebut masih tidak bisa dilakukan, karena Harun Masiku adalah caleg diurutan keenam dalam perolehan suara.
Setelah itu karena Harun Masiku masih bergerak untuk melobi, Refly bercerita mulai ada anggota KPU yang tergoda suap.
Kemudian terjadilah kasus dugaan suap Harun Masiku yang sampai saat ini keberadaannya masih menjadi tanda tanya.
"Dan akhirnya karena Harun Masiku ngotot untuk menjadi anggota DPR, maka terjadilah rupanya ada anggota KPU yang tergoda," kata Refly.
"Lalu kemudian brokernya juga mantan Anggota Bawaslu yang saya kenal baik," tandasnya.
Simak videonya mulai menit ke-1.50: