GELORA.CO - Kebijakan pemerintah menerbitkan Global Bond atau Surat Utang secara elektronik senilai 4,3 miliar dolar AS, dipertanyakan. Pasalnya, langkah yang diputuskan di tengah pandemik virus Corona (Covid-19) itu dinilai berbanding terbalik dengan upaya yang sedang dilakukan untuk menjinakkan wabah ini.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan menilai, tindakan konkret pemerintah dalam menangani Covid-19 yang menjadi dasar diterbitkannya surat utang dalam bentuk elektronik tersebut masih dipertanyakan publik, karena belum kelihatan arahnya.
"Bagaimana dengan kinerja dari Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas, kapan Covid-19 selesai? Apa langkah jangka pendek, menengah dan panjangnya," ucap Heri Gunawan meresposns penerbitan global bond tersebut, Kamis (9/4).
Sementara pemerintah sendiri melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan penerbitan global bond dalam bentuk 3 surat berharga global, yakni Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI1050, dan RI0470, merupakan strategi pembiayaan APBN 2020 yang akan dipergunakan untuk menopang pembiayaan situasi Covid-19.
Politikus yang akrab disapa Hergun ini berharap kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi musibah ini jangan justru semakin mempersulit stabilitas keuangan negara. Meskipun, para pengambil kebijakan diberi otoritas yang besar melalui Perppu 1/2020.
Perppu tersebut diketahui mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
"Dengan Perppu memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pinjaman 60 persen dari PDB, sehingga utang akan semakin membesar. Sementara waktu penyelesaiannya sangat tidak jelas. Berapa untuk penanganan, berapa untuk subsidi, dan berapa untuk pemulihan?" sambung Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR itu.
Untuk itu, Hergun mendorong Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LSP) untuk melakukan kajian pre test terlebih dahulu terhadap kondisi yang dihadapi. Baik dengan skema jangka pendek, menengah, dan panjang beserta kebijakan yang mestinya diambil.
Menteri keuangan bersama BI, OJK dan LPS selaku Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), juga harus melakukan stress case. Misalnya, bagaimana kondisinya nanti jika Covid-19 selesai di bulan Juni; atau di bulan Juli. Hal itu disertai dengan ketentuan dan aturan pelaksanaannya.
"Perlu ada aturan dan tindakan yang tegas, jelas dan terukur. Kalau tidak, akan semakin mendalam. Terkesan asyik memanfaatkan kondisi Covid-19 untuk menambal sulam kondisi lemahnya ketahanan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Karena semua bersembunyi di balik corona," tegas Hergun.
Di sisi lain, Kemenkes maupun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tidak bisa memprediksi kapan berakhirnya wabah ini, dan langkah
kerja konkretnya pun belum terlihat. Hal itu memperlihatkan kepada publik bahwa masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
"Ini kan terkesan jalan sendiri-sendiri. Contoh untuk kebutuhan APD kudunya bisa ditutupi segera. Bukankah kita punya BUMN kesehatan," tukasnya mempertanyakan.
Maka dari itu, Hergun meminta jajaran pemerintah betul-betul bertindak dengan hati-hati dalam melaksanakan Perppu 1/2020. Serta, perlunya sinergi yang nyata dan konkret antar kementerian dan lembaga dalam perang melawan Covid-19.
"Jangan sampai ada kesan yang muncul di tengah masyarakat, Perppu Corona ini dijadikan aji mumpung. Lama-lama tugas dan tanggung jawab DPR juga bisa enggak ada lagi semua diambil Perppu. Sementara utang makin banyak. Berutang persoalan gampang, tetapi bayarnya nanti bagaimana," tukas ketua DPP Gerindra ini.[rmol]