GELORA.CO - Sebuah penelitian memperingatkan tindakan drastis, hampir seperempat juta orang Indonesia bisa meninggal karena COVID-19 pada akhir April.
Peringatan itu mengemuka setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan keadaan darurat dengan istilah 'Pembatasan Sosial Berskala Besar', atau PSBB, hari Selasa (31/03).
Presiden Jokowi menghindari penerapan 'lockdown', namun lebih memilih PSBB, menambah kewenangan polisi dan mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai lebih dari Rp400 triliun.
Pemerintah RI juga mengumumkan semua warga negara asing kecuali diplomat, pekerja kemanusiaan dan mereka yang memiliki izin tinggal, akan dilarang memasuki Indonesia selama 14 hari.
Tapi John Matthews, seorang ahli epidemiologi dari University of Melbourne, menilai tindakan itu sudah terlambat.
"Jika mereka dapat secara efektif menutup perbatasan sebulan yang lalu, mereka seharusnya melakukannya saat itu," katanya kepada ABC.
"Dalam arti tertentu, sekarang sudah terlambat untuk dilakukan," tambahnya.
Mengingat kepadatan penduduk dan kemiskinan di Indonesia, katanya, "mengendalikan virus dalam kondisi sosial di Indonesia akan sangat sulit."
Kasusnya lebih tinggi
Kementerian Kesehatan RI menyatakan hingga 1 April jumlah total kasus telah meningkat menjadi 1.677, sekitar setengahnya berada di Jakarta.
Setidaknya 156 orang meninggal dan 103 sembuh.
Tingkat kematian akibat virus corona di Indonesia juga pernah menjadi yang tertinggi di dunia.
Tingkat pengujian COVID-19 di Indonesia termasuk yang terendah di dunia, hanya beberapa ribu tes yang telah dilakukan untuk seluruh populasi 270 juta orang.
Namun sejumlah pemodelan menunjukkan jumlah sebenarnya kasus infeksi di seluruh nusantara adalah puluhan ribu.
Sebuah studi terbaru yang dikeluarkan Universitas Indonesia memproyeksikan tanpa intervensi, Indonesia dapat mengalami 240.000 kematian pada akhir April akibat COVID-19.
Bahkan studi ini menyebutkan, dengan intervensi moderat, 48.000 orang Indonesia bisa mati, tetapi jumlahnya dapat diturunkan menjadi 12.000 dengan "intervensi intensitas tinggi".
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memproyeksikan antara 100.000 dan 240.000 warganya bisa meninggal akibat virus corona, bahkan dengan menerapkan jarak fisik.
Di tahun 2017, Bank Dunia menyebutkan Indonesia hanya memiliki empat dokter untuk 10.000 penduduk.
Selain itu, diperkirakan tidak sampai tiga tempat tidur perawatan intensif per 100.000 penbduduk.
"Mereka bekerja dalam keadaan yang sangat sulit," kata Profesor Matthews.
"Kita harus berasumsi banyak kasus yang tidak diketahui dan berarti banyak kematian," ujarnya.
Tanggal 19 Maret lalu, Indonesia mengeluarkan aturan soal larang pertemuan massal, namun sebagian warga terus mengabaikannya.
Polisi secara paksa membubarkan pesta pernikahan dan acara lain yang tetap berlangsung meskipun ada larangan.
Polisi juga sempat turun tangan untuk mencegah pertemuan keagamaan di Tangerang, dengan meminta warga untuk melaporkan kepada pihak berwenang jika mendapatkan kejadian serupa.
Di Malaysia, kebanyakan kasus corona berasal dari pertemuan keagamaan yang dihadiri sekitar 16.000 orang di Kuala Lumpur, Februari lalu.
Setelah kegiatan itu, sebagian peserta kembali ke Indonesia, Brunei, Thailand dan Filipina.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengeluarkan fatwa, menyatakan masjid harus ditutup untuk menghindari penyebaran lebih lanjut.
Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia, minggu ini menyerukan umat Islam untuk menghindari tarwih selama Ramadhan, yang akan dimulai pada akhir April.
Meningkatkan langkah
Indonesia mulai meningkatkan langkah-langkah untuk memperlambat penyebaran virus.
Presiden Jokowi minggu lalu meresmikan rumah sakit spesialis COVID-19 di Jakarta yang mampu merawat 3.000 pasien.
Pemerintah juga sedang membangun rumah sakit di Pulau Galang, yang dikhususkan untuk merawat pasien COVID-19.
Selain itu, pihak berwenang akan membebaskan sekitar 30.000 napi untuk menghindari penyebaran virus di dalam penjara yang penuh sesak.
Jumlah tersebut mencakup sekitar 11 persen dari populasi narapidana, menurut Institute for Criminal Justice Reform di Jakarta, yang menyambut baik langkah tersebut.
Tapi menurut Yanuar Nugroho, akademisi yang juga mantan staf KSP, ketidakpatuhan warga dalam menerapkan pembatasan jarak fisik dapat dikaitkan dengan respons lambat Pemerintah Indonesia terhadap pandemi sejak dini.
"Ketika negara-negara lain sudah mengeluarkan tanda merah untuk menangani COVID-19, Pemerintah kita tampaknya tidak serius," katanya kepada ABC.
"Kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis ini benar-benar dipertanyakan," ujar Yanuar.
Pemerintahan Jokowi tampaknya memprioritaskan ekonomi daripada keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Indonesia baru melaporkan kasus COVID-19 pertamanya pada 2 Maret lalu.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, seorang penganut agama Kristen yang taat, mengaitkan kurangnya kasus corona saat itu dengan kecenderungan warga yang berdoa.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyarankan orang dapat menghindari coronavirus dengan makan tauge dan brokoli, yang kaya akan vitamin E.
Presiden Jokowi mempromosikan minum jamu, minuman herbal tradisional yang dipercaya memiliki khasiat obat.
Menkes Terawan sudah banyak menghadapi serangkaian kritik, bahkan desakan untuk mengundurkan diri, karena dinilai tidak memiliki kemapuan manajemen krisis.
Presiden Jokowi pun sebelumnya mengakui pihak berwenang menahan informasi dari publik untuk "menghindari kepanikan".
Organisasi Kesehatan Dunia WHO secara terbuka mendesak Indonesia untuk berhenti menyemprotkan desinfektan langsung ke tubuh orang.
Perwakilan WHO di Indonesia Navaratnasamy Paranietharan mengatakan praktik itu tidak membantu dan malah bisa berbahaya bagi kesehatan, terutama, kulit, mata dan mulut.
Pekan ini WHO juga mengumumkan Indonesia telah menjadi anggota 'Solidarity Trial', sebuah inisiatif WHO global untuk menguji vaksin di berbagai negara.(*)