OLEH: TEGUH SANTOSA
LAHIR di Jakarta, 3 Januari 1941, Soe Hok Djin yang lebih dikenal dengan nama Arief Budiman, meninggal dunia hari ini, 23 April 2020, setelah menjalani perawatan lebih dari satu minggu di Rumah Sakit Ken Saras, Kabupaten Semarang.
Arief Budiman menderita sakit cukup lama, di antaranya parkinson. Kesehatannya mulai menurun sejak ia pensiun dari Universitas Melbourne, Australia, tahun 2008. Beberapa tahun kemudian, bersama sang istri Leila Ch. Budiman, ia kembali ke Salatiga.
Sebagai aktivis angkatan 1966, Arief Budiman ikut mendorong kejatuhan rezim Sukarno. Bersama sejumlah budayawan, seniman, dan wartawan, Arief Budiman ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan di tahun 1963.
Dikenal dengan nama Manikebu, kelompok ini menentang penggunaan kesenian dan kebudayaan sebagai alat politik seperti yang dipraktikkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun-tahun vivere pericoloso itu.
Walau ikut membidani kelahiran Orde Baru, tetapi Arief Budiman emoh ikut dalam gerbong kekuasaan. Di tahun 1973, ia dan kawan-kawannya memperkenalkan Golongan Putih yang kemudian dikenal sebagai Golput. Ini adalah gerakan terbuka yang menentang dominasi Golongan Karya (Golkar) dan politik pembungkaman yang dilakukan Orde Baru.
Sebelum Pemilu 1973, di bulan Januari tahun itu rezim Orde Baru menyatukan partai-partai bernuansa Islam, NU, Parmusi,Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dengan demikian hanya ada tiga partai politik yang mengikuti Pemilu 1973, yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Nama Arief Budiman kembali terdengar saat kisruh di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) tempat ia mengajar. Di tahun 1995, Arief Budiman yang dianggap sebagai motor gerakan melawan Rektorat UKSW dan Yayasan dipecat bersama sejumlah temannya.
Setelah itu ia pindah ke Melbourne, Australia.
***
Saya tak punya banyak pengalaman dengan Arief Budiman.
Di antara yang sedikit itu, saya pernah meminta rekomendasi dari Arief Budiman saat ingin mendapatkan Australia Development Scholarship (ADS). Saya menghubungi via e-mail. Bangganya luar biasa saat Arief Budiman menyatakan bersedia memberikan rekomendasi.
Seingat saya, dua kali Arief Budiman menuliskan surat rekomendasi untuk saya. Tapi upaya saya untuk bisa melanjutkan sekolah ke Australia selalu gagal.
Di tahun 2003 atau 2004, saya pernah membawa Arief Budiman ke kediaman Mbak Rachmawati Soekarnoputri. Saya lupa bagaimana awalnya sampai kami satu mobil menuju Jatipadang Raya.
Sepanjang perjalanan, banyak hal yang kami bicarakan. Tetapi yang paling saya ingat tentang dua hal. Pertama, hubungannya dengan sang adik Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie yang lahir di Jakarta, 17 Desember 1942, lebih dahulu meninggal dunia. Ia wafat ketika mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur di tahun 1969, persis satu hari sebelum merayakan ulang tahun ke-26.
Arief Budiman dan Soe Hok Gie dua bersaudara. Ayah mereka adalah seorang wartawan dan penulis, Soe Lie Piet yang kemudian menggunakan nama Salam Sustrawan.
Saya tanya, apa yang paling diingat Arief Budiman dari pergaulannya dengan Soe Hok Gie. Di luar dugaan, Arief Budiman mengatakan, kira-kira, hubungan mereka dekat, tetapi tidak terlalu dekat. Bahkan sempat tidak saling tegur.
Saya tanya, kenapa?
Jawab Arief Budiman, kalau saya tidak salah ingat, saat masih remaja tanggung Soe Hok Gie merusak rumah semut miliknya.
Kalau ingatan saya itu salah, maka yang terjadi sebaliknya: Arief Budiman yang merusak rumah semut milik Soe Hok Gie.
Hal kedua yang saya tanya adalah tentang rencana pembuatan film "Gie".
Waktu itu sedang ramai dibicarakan, kisah Soe Hok Gie dari bukunya, “Catatan Harian Seorang Demonstran”, akan diangkat ke layar lebar. Arief Budiman disebutkan sebagai pihak keluarga yang mengizinkan pembuatan film itu.
Saya bertanya kepada Arief Budiman, apakah tidak khawatir Soe Hok Gie akan jadi produk budaya pop, lalu perjuangannya tereduksi dan heroismenya akan menjadi basa-basi.
Saya katakan, saya tidak rela kalau itu terjadi. Bagi saya Soe Hok Gie adalah sosok suci. Gambaran ideal aktivis mahasiswa. Cowboy yang turun ke kota di saat ketenangan kota diganggu kelompok bandit. Setelah berhasil mengalahkan kelompok bandit dan membantu mengembalikan hukum di kota, sang cowboy memilih naik gunung lagi dan menyendiri.
Salah satu kisah terkenal tentang Soe Hok Gie adalah kritik yang disampaikannya kepada aktivis mahasiswa 1966 yang setelah Sukarno jatuh ramai-ramai masuk partai politik dan menjadi anggota DPR RI. Kepada mereka, Soe Hok Gie mengirimkan baju dalam wanita.
Seperti kebanyakan aktivis pers mahasiswa di era 1990an, saya membaca sejumlah karya yang ditulis Soe Hok Gie; “Di Bawah Lentera Merah”, “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”, juga “Zaman Peralihan”.
“Catatan Harian Seorang Demonstran” sudah barang tentu menjadi bacaan wajib, selain catatan harian Achmad Wahib, “Pergolakan Pemikiran Islam”.
Arief Budiman tidak langsung mengomentari pertanyaan dan kekhawatiran saya itu. Mungkin baginya klise. Kekhawatiran khas anak muda yang baru meninggalkan bangku kuliah.
Dia katakan, dia suka dengan film “Ada Apa Dengan Cinta” (2002) yang dikerjakan Mira Lesmana dan Riri Riza. Dua sineas ini pula yang akan mengerjakan film tentang Soe Hok Gie.
Menurut Arief Budiman, AADC film yang luar biasa. Menarik dilihat dari sisi dinamika bahasa dan perubahan sosial Indonesia. Baginya yang mengajar keindonesiaan di Universitas Melbourne (ini kampus yang saya incar waktu itu), AADC adalah salah satu materi yang menarik untuk dibahas di ruang kelas.
Jadi dia senang, Soe Hok Gie akan difilmkan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Berharap, hasilnya akan booming seperti AADC. Kira-kira begitu.
Saya mendengarkan dengan baik.
Sampai kini saya belum sekalipun menonton film “Gie” yang dirilis tahun 2005. Di dalam film itu, sosok Soe Hok Gie diperankan Nicholas Saputra.
***
Saat masih di kampus Unpad, bukan hanya buku Soe Hok Gie (dan Achmad Wahib) yang menjadi bacaan wajib kami. Satu buku karya Arief Budiman juga harus dibaca dan didiskusikan bersama senior dan kawan satu angkatan.
Judulnya, “Negara dan Pembangunan”. Diterbitkan tahun 1991. Sampulnya warna merah.
Buku ini membandingkan perjalanan pembangunan dua macan Asia ketika itu; Korea Selatan dan Indonesia.
Ada sejumlah persamaan. Pertama, proses pembangunan dimulai di era yang kurang lebih sama. Korea Selatan di tahun 1961, Indonesia di tahun 1968.
Kedua, tokoh utama yang memimpin pembangunan juga relatif sama. Di Korea Selatan ada Park Chung Hee, di Indonesia ada Soeharto. Keduanya berlatar belakang militer. Jenderal terhebat di kelompoknya. Sangat kuat.
Ketiga, teori pembangunan yang mereka gunakan juga sama: developmentalisme yang mengandaikan bahwa proses pembangunan di negara berkembang harus melalui rute pembangunan yang pernah ditempuh negara maju. Nilai-nilai tradisional yang dianggap antipembangunan harus disingkirkan atau setidaknya mengalami penyesuaian dengan nilai baru yang berdimensi produktivitas dan kreativitas. Ada aplikasi substitusi impor yang kemudian seiring dengan perjalanan waktu akan digeser menjadi orientasi ekspor.
Negara juga diwajibkan untuk membentuk kelompok industriawan dan memberikan berbagai perlindungan dan privilege atau hak istimewa kepada mereka. Di Korea Selatan kelompok ini disebut sebagai Chaebol. Di Indonesia waktu itu dikenal sebagai Kelompok Jimbaran.
Keempat, agar proses pembangunan berlangsung seperti yang diharapkan, harus ada jaminan stabilitas politik. Untuk ini aktor utamanya adalah militer dan birokrasi. Untuk menjelaskan ini, Arief Budiman meminjam model negara otoriter birokratik (NOB) Guillermo O’Donell.
Di Indonesia, terjadi uniformisasi sosial dan politik, dan sebagainya.
Bedanya, lanjut Arief Budiman, NOB yang diterapkan di Korea Selatan menghasilkan kelompok industriawan berorientasi pembangunan. Tranformasi pembangunan terjadi, Korea Selatan baru tumbuh, produk Korea Selatan merajai pasar domestik, dan selanjutnya merambah ke pasar regional dan global.
Beberapa tahun lalu, saya baru tahu, di era Park Chung Hee ini yang dikenal sebagai Saemaul Undong, gerakan masyarakat baru. Industrialisasi dibangun dari tingkat desa, lantas menciptakan keajaiban di tepi Sungai Han.
Sementara, NOB yang diterapkan di Indonesia menciptakan kelompok kuasi industriawan yang alih-alih tampil sebagai motor pembangunan, mereka justru memanfaatkan hak istimewa yang diberikan rezim (negara) untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Dalam bahasa Arief Budiman, kelompok pengusaha yang dilindungi negara ini menjelma menjadi kelompok pencari rente.
Kebetulan, di masa-masa itu sedang populer kasus pembobolan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang dilakukan pengusaha Eddy Tansil berbekal surat sakti atau katebelece dari Menkopolkam Sudomo.
Eddy Tansil dengan mudah mendapatkan kredit sebesar Rp 1,3 triliun. Ini angka yang sangat fantastis di masa itu. Belum pernah terdengar sebelumnya.
Katebelece diberikan Sudomo kepada Eddy Tansil di tahun 1989.
Disebutkan, Sudomo mengenal Eddy Tansil sejak dia menduduki kursi Menteri Tenaga Kerja (1983-1988).
Di periode berikutnya (1988-1993) Sudomo menjadi Menkopolkam, dan di saat yang sama menduduki posisi Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sampai 1998.
Sudomo meninggal dunia bulan April 2012. Sementara Eddy Tansil sampai sekarang masih menghilang.
Akhir kata, Mas Arief Budiman, selamat jalan! Selamat bertemu kembali dengan Soe Hok Gie.