Oleh: Hendra J Kede*
HANDPHONE berdering, tidak ada nama, hanya nomer telpon, saya angkat, suara tidak dikenal, orangnya dapat nomer saya dari orang lain yang dapat nomer saya saat saya jadi narasumber (Narsum).
Salah satu protap saya saat jadi Narsum memang membagikan nomer handphone, sebagai bentuk keterbukaan informasi pejabat publik.
Nada suaranya halus, intonasi pun halus, tidak ada nada menggurui, ciri khas orang tua Jawa yang sangat njawani lawan bicara.
Ceritanya mau curhat, curhat terkait pembebasan 30.000 (tiga puluh ribu) narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan oleh Menkumham.
Lha kok curhatnya ke saya?
Jawabannya, karena saya Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI.
Lha hubungannya apa coba?
Karena saya, dapat menginformasikan ke Presiden dan Menkumham keluhan Wong Cilik.
Lha dalah.... tambah tugas nih....
Ya sudah, saya layani saja curhatan tersebut.... ops.... tepatnya protes dan kemarahan gaya Jawa... haluuuuusss bangeeettt ngomongnya...
Tapi isi curhatannya itu lho.... bikin berlinang.... teringat saya juga orang kampung...
***
"Mas.... wong cilik lagi kalang kabut banget sekarang...."
Begitu dengan sangat sopan dan halus, sebut saja Mbah Mulyo, memulai curhatannya.
"Kalang kabut kenapa Mbah?"saya menimpali.
Berlanjutlah curhatan tersebut.....
Kehidupan wong cilik itu susah. Dapat sedikit rezeki hari ini untuk menyambung hidup hari ini, kalau ada sisa ditabung untuk besok, itu sudah sangat bersyukur sekali.
Sesekali makan telor dari ayam yang lagi bertelor juga sudah makanan mewah. Kalau sudah musim panas, tanah gersang, bisa makan tiwul juga sudah alhamdulillah.
Anak muda kampung banyak pergi merantau jadi kuli buruh harian di kota, jualan kaki lima di kota. Istri-istri juga banyak yang ke kota jualan jamu gendong. Hasil yang ndak seberapa itu dikirim ke kampung untuk biaya sekolah anak yang dititip orang tuanya ke mbah-mbah yang tidak merantau.
"Tapi itu dulu, Mas," bunyi suara di seberang sana.
"Kalau sekarang bagaimana, Mbah? Sudah lebih baik?" saya timpali sambil was-was kalau saya salah memilih kata.
"Lebih parah, Mas", Mbah Mulyo melanjutkan.
Corona datang, awalnya kiriman berkurang, selang berapa waktu kiriman ndak datang lagi. Lama-lama orang di rantau meminta dikirimin uang sekadar untuk makan, modal sudah menipis banget.
Corona makin menggila, orang rantau mudik kembali ke kampung, bahkan sebagian pulang dengan ongkos yang dikirim dari kampung.
Kalau dulu pulang senang bawa oleh-oleh dan uang, sekarang pulang malah penuh khawatir kalau-kalau bawa corona. Sampai di kampung diingatkan aparat kampunh untuk isolasi mandiri. Tidak bisa kerja juga.
**
"Itu saja sudah bikin kalang kabut, Mas," sejenak suara Mbah Mulyo terhenti.
"Sekarang tambah kalang kabut, Mas," Mbah Mulyo melanjutkan.
"Tambah kalang kabut pripun, Mbah?" saya timpali sehalus mungkin dengan logat Padang saya.
Mbah Mulyo tidak habis pikir dengan alasan pemerintah membebaskan 30.000 (tiga puluh ribu) napi tindak pidana umum.
Menurut Mbah Mulyo, kebijakan itu menambah beban wong cilik yang sudah sangat susah dan kalang kabut oleh corona. Saya mencoba untuk menjelaskan kalau napi koruptor, napi narkoba, dan napi teroris tidak dilepaskan, yang dibebaskan hanya narapidana tindak pidana umum.
"Lha itu yang bikin susah wong cilik, Mas," jawab Mbah Mulyo spontan.
Saya kaget dan sedikit terperanjat dengan nada bicara Mbah Mulyo yang sedikit berubah dan tentu juga dengan jawaban Mbah Mulyo. Menurut beliau kalau penjara kepenuhan yang dibebaskan yang koruptor saja, jangan narapidana tindak pidana umum itu.
"Kok begitu, Mbah?" tanya saya tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget.
Koruptor itu kalau dilepaskan kan ndak bakalan korupsi lagi, lha jabatannya kan sudah dicopot. Koruptor itu kan tetap banyak uang sekedar untuk hidup. Ndak bakal nyusahin banyak orang, apalagi wong cilik.
Kalau yang dilepaskan itu napi tindak pidana umum bakal menyusahkan wong cilik. Napi tindak pidana umum itu kan rata-raya juga wong cilik, keluar penjara ya tidak punya uang.
Belum tentu keluarganya juga punya uang untuk menanggung biaya hidup. Mau cari kerja, ya sulit sekali. Jangankan mantan napi, orang baik-baik saja mencari kerja sekarang susah bangeeettt. Corona telah memutup banyak usaha.
Sementara perut tetap lapar. Tidak ada jalan lain, akhirnya kan bisa saja nekat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuap nasi.
Pencopet pasar kembali nyopet di pasar, pencuri ternak kembali mencuri ternak, pencuri tanaman di kebon kembali mencuri tanaman, maling kembali maling. Pencuri motor kembali mencuri motor. Penipu kalas teri kembali menipu di jalanan.
"Kalau begini yang repot kan wong cilik juga?" keluh Mbah Mulyo
*
"Tolong sampaikan ke Menkumham itu Mas, kalau kami wong cilik ini sudah kalang kabut karena corona, jangan ditambah kalang kabut dengan napi yang dilepaskan ini," minta Mbah Mulyo ke saya.
Saya mana berani mengiyakan. Hanya mengajak Mbah Mulyo berdoa pada Gusti Allah SWT, agar zaman kalang kabut ini segera berakhir. Tentu saja sambil menyampaikan imbauan untuk mematuhi pemerintah agar corona segera berlalu.
Oh ya, sebelum menutup telpon Mbah Mulyo sempat menyampaikan keadaanya yang sulit tidur.
Sulit tidur karena takut ada yang mencuri dua ekor ayamnya yang lagi masa bertelur.
Di batin saya hanya bisa merintih.
Duh Gustiiiii.... paringono eling.....
*) Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI