GELORA.CO - Presiden Joko Widodo bersama jajaran terbukti tidak siap dalam menghadapi wabah Covid-19. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak dipikirkan secara matang sehingga tumpang tindih antara satu kementerian dengan kementerian lainnya sampai tingkat pemerintah daerah, sehingga memperparah keadaan.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Syahrul Aidi Maazat, mengatakan, Jokowi sapaan akrab kepala negara terkesan masih melakukan pencitraan bantuan dan plin-plan sehingga meremehkan keselamatan rakyat.
"Pemerintahan Jokowi periode dua ini masih saja seperti yang dahulu lemah dan plin-plan. Hal ini terlihat saat Covid-19 melanda. Banyak aturan dan kebijakan yang diambil tanpa ada sinkronisasi dengan semua stake holder. Sering berubah-ubah dan banyak menyebabkan berbenturan dan membingungkan daerah dalam bekerja. Jadi implementasinya nol sehingga hanya menjadi pencitraan bantuan oleh Presiden dan mengenyampingkan keselamatan rakyat," ujar Syahrul, Rabu (29/4).
Jelas politisi muda ini, setidaknya ada empat stakeholder yang berkaitan erat dengan penaaganan virus corona ini, yaitu Kementerian Keuangan, Kemendagri, Kementerian Desa dan PDTT, dan Kementerian Sosial.
Syahrul menerangkan efek dari ketidaksinkronan itu, konflik sosial muncul di lapisan bawah saat ini. Hal itu dapat ditandai dengan berbagai penolakan yang dilakukan oleh kepala desa hingga ketua RT/RW yang tidak berani menjalankan aturan yang telah ditetapkan.
"Saya mendapat banyak laporan, mulai bupati, kades hingga Ketua RT atau RW yang tidak berani menjalankan beberapa instruksi pemerintah pusat. Ada yang takut masyarakat kecewa, ada juga yang takut akan kena masalah pasca Covid-19. Akhirnya mereka hanya diam dan menunggu. Akibatnya penanganan Covid-19 makin susah dan korban berjatuhan," tuturnya.
Syahrul meminta agar pemerintah mengevaluasi cara kerjanya dalam penanganan Covid-19. Harus ada sinkronisasi menyeluruh atas semua kebijakan. Jangan sampai ada yang tumpang tindih dan menyulitkan pemerintahan daerah.
"Sederhanakan alur birokrasinya dan cari cara jitu alur pemutusan mata rantai Covid-19 misalkan saat ini ada pool test algoritma yang dikembangkan oleh anak-anak muda kita. Kemudian sesuaikan standar dengan keadaan kekinian. Misalkan saat ini ada BLT dari Kemendes PDTT, maka seharusnya kementerian terima data up to date dari RT/RW jangan pakai data sendiri dari atas dan jangan terkungkung dengan kriteria kemiskinan yang dipakai dalam keadaan normal. Hari ini semua orang terdampak Covid-19 sehingga banyak orang-orang turun kelas, misalkan kelas pekerja terdampak PHK yang dulu middle class lalu terjun bebas menjadi lower class. Jadi pembagian harus adil semua harus dapat," tegas politisi muda dari Kampar, Riau ini.
Kemudian Syahrul juga menyoroti beleid yang selalu berbenturan dengan prinsip otonomi daerah yang membuat pemerintah daerah terkungkung dengan instruksi tidak jelas dari pemerintah pusat. Padahal dengan diberi kewenangan dan kebebasan bertindak maka pemda bisa segera mengatasi Covid-19
"Sebenarnya penanganan pandemik ini tidak terlalu sulit asalkan arahan dan jalur koordinasinya bagus. Jangan sampai membuat bingung pemerintahan di daerah dengan beleid. Karena dampak paling besar dalam pemberlakuan PSBB yang kontroversial ini adalah warga di daerah yang digawangi pemda sampai jajaran turunannya di tingkat desa dan RT/RW sebagai garda terdepan. Karena segala wanprestasi Presiden dari pencitraanya pasti mereka yang menanggung. So stop pencitraan bantuan Mr. President," tutupnya.[rmol]