GELORA.CO - Peristiwa mundurnya dua Stafsus Presiden, Belva Devara dan Andi Taufan menjadi pelajaran buat para penyelenggara negara agar menghindari praktik penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Demikian disampaikan eks aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indoneisa (GMNI), Haryadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/4).
"Di tengah pandemik Covid-19 ini, semua mata tertuju dan teliti hingga akhirnya dua stafsus Presiden ini sudah tak nyaman dan mengundurkan diri," ujar Haryadi.
Tak dipungkri mundurnya dua stafsus milenial tersebut akibat dugaan konflik kepentingan di tengah kesibukan penanganan Covid-19 yang berlangsung. Oleh karenanya, dugaan tersebut patut menjadi alarm untuk semua penyelenggara negara agar dalam menjalankan tugasnya mengabaikan kepentingan pribadi.
Menurut Haryadi, tindakan yang dilakukan dua stafsus yang berpolemik karena masing-masing perusahaan milik mereka terlibat dalam penanganan Covid-19 adalah kekeliruan di luar tupoksi mereka. Padahal, kata dia, tupoksi tersebut sudah tercantum dalam aturan dan regulasi yang ada.
"Bisa dipelajari UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan" terang Haryadi.
Ke depan, ia berharap pemerintah bisa lebih cermat dalam memilih para pembantu presiden. Pengganti kedua stafsus tersebut, kata dia, harus berasal dari sosok anak muda yang tak hanya milenial, tetapi juga nasionalis.
"Juga harus biasa mengadvokasi dan tahu persoalan di tengah masyatakat. Ada Twedy, sekarang aktif di KNPI. Dia sosok yang belajar dari bawah, ada juga generasi lebih muda dan milenial Chrisman, sepak terjangnya sudah bagus," tandasnya. (Rmol)