Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH.MH
PANDEMI corona―atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19―bermula dari Kota Wuhan, China, kini menjadi wabah yang menakutkan bagi dunia. Tidak saja negara maju, negara berkembang maupun negara terbelakang juga berupaya menyelamatkan warganya agar tidak terpapar dan kasus meluas.
Covid-19 kali pertama masuk Indonesia pada 2 Maret 2020―berdasarkan klaim pemerintah pusat. Sebelum terdeteksi, para pemangku kebijakan negara menunjukkan optimismenya, bahkan dengan kalimat-kalimat yang seakan mendahului kehendak Tuhan. Kalimat yang semestinya tidak terlontar.
Optimisme berbalik fakta dalam realitasnya. Pemerintah tidak mampu mengelak Covid-19 masuk ke Tanah Air. Pencegahan yang lamban dan penanganan yang tersendat, memperlihatkan ketidakberdayaan negara mengatasi wabah yang begitu cepat menjalar.
Kritik dan masukan terlontar. Malah keterlibatan masyarakat dalam menangani Covid-19 lebih cepat ketimbang negara. Kemajemukan dengan gugusan geografis kepulauan, memperlihatkan kesigapan masyarakat dan mengesampingkan persoalan-persoalan politik.
Masyarakat Indonesia bergotong royong fokus pada pencegahan dan pemulihan akibat terdampak, agar tidak merambah lebih luas.
Lalu di mana negara? Konstitusi kita dalam paragraf keempat secara gamblang menegaskan, "dibentuknya pemerintahan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia", kemudian, berkewajiban "menyejahterakan, mencerdaskan, memberi kedamaian dan keadilan sosial". Pada konteks inilah Indonesia adalah negara yang memanusiakan manusia.
Jalur Konstitusional Anies
Kembali kita melihat kualitas sosok Anies Baswedan sebagai kepala Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Pendekatan memanusiakan manusia bagi warganya yang kini secara persentase sangat besar dibandingkan provinsi lain yang terpapar Covid-19 dalam mengatasi krisis ini.
Pemahaman dirinya menjadi gubernur DKI Jakarta atas kehendak warganya, sejalan dengan alur pembukaan UUD 1945. Mendahulukan kesehatan dan keselamatan warganya dalam koridor konstitusi.
Tecermin nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan melalui berbagai kebijakannya menangani pandemi. Sehinga, hak warga atas pelayanan, kesejahteraan, dan kesehatan tetap diberikan.
Sayangnya, keinginan Anies mencegah penyebaran wabah yang begitu masif tidak selalu berjalan baik. Beberapa kebijakan ditolak pusat, seperti pembatasan transportasi publik, karantina wilayah (lockdown), dan menyetop operasional bus dari dan ke Jakarta. Permasalahannya bukan di Anies, melainkan pihak-pihak yang lebih berpikir politik kekuasaan dengan dalih peraturan perundang-undangan.
Sebagai orang hukum, saya tidak sepenuhnya memahami tentang kesehatan. Sependek sepengetahuan saya, lockdown merupakan tindakan membatasi aktivitas penduduk sebagai respons atas menyebarnya wabah untuk melindungi segenap rakyat.
Lockdown atau istilah apa pun, merupakan langkah konstitusional Anies dalam melokalisasi keberadaan virus. Bukan saja bagi yang tertular, tetapi dapat mengidentifikasi di mana wabah berkembang. Dengan begitu, pemetaan keberadaan virus akan lebih mudah. Juga untuk memutus mata rantai penyebarannya.
Untuk Keselamatan
Secara konstitusional, kehendak Anies itu tidak dalam zona pelanggaran konstitusi. Justru sebaliknya, konstitusi menjadi kabur ketika pusat membawa persoalan kemanusiaan ke ranah ekonomi politik. Akibatnya, akan banyak warga Jakarta yang terdampak wabah.
Melalui penerapan lockdown, Anies sebenarnya juga mendorong peran negara dalam melindungi masyarakat Jakarta. Ketika lockdown diberlakukan, pemerintah pusat wajib memenuhi kebutuhan hidup dasar warga dan pakan ternak. Ini diamanatkan secara eksplisit dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Masyarakat, khususnya pekerja informal yang beraktivitas di luar ruang dan risiko terpapar Covid-19 besar, akan senang. Sebab, mereka tidak perlu lagi pergi ke luar rumah dan bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sayangnya, pemerintah pusat berkehendak lain. Presiden Jokowi justru memilih opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020.
Kebijakan tersebut tentu langkah mundur dan mengecilkan peran negara, karena tidak ada lagi ketentuan yang mengikat bagi pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar rakyat dan pakan ternak. Baik dalam UU Kekarantinaan Kesehatan maupun PP PSBB.
Dalam Pasal 4 ayat (3) PP PSBB, pemerintah memang diminta penerapan pembatasan sosial dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Namun, tujuannya agar langkahnya tidak mengganggu distribusi dan akses masyarakat. Bukan lagi kewajiban pemenuhannya atau penyediaannya.
Keputusan ini justru berbahaya dan tidak memanusiakan manusia. Pekerja informal, seperti pedagang kaki lima (PKL), yang mengandalkan pendapatan harian dari usaha di tempat umum akan terancam. Mereka berisiko tidak bisa berjualan, karena pemerinta berhak menghentikan segala aktivitas di fasilitas publik.
Padahal, para pedagang kecil juga terpaksa tetap berjualan di tengah besarnya ancaman "musuh kasatmata" ini demi memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Apalagi, negara tidak lagi menanggungnya, sebagaimana skenario lockdown.
Apa akhirnya, keputusan PSBB berpotensi menyebabkan terjadinya gejolak sosial, apabila pelarangan terhadap aktivitas pekerja informal di tempat umum dilakukan secara masif. Niat menyelamatkan nyawa dari ancaman Covid-19 berujung pada konflik horizontal, antara pemerintah dengan rakyatnya.
Penulis adalah Anggota DPR/MPR 2009-2014, Advokat dan Dosen FH/ FISIP UMJ