Melihat Kembali Putusan MA Yang Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Melihat Kembali Putusan MA Yang Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pemerintah hingga kini belum menormalkan kembali iuran BPJS Kesehatan setelah Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan penolakan kenaikan iuran yang dilakukan oleh pemerintah.
Padahal, putusan MA tersebut ditetapkan pada 27 Februari 2020 kemarin dengan nomor 7 P/HUM/2020 atas gugatan yang dilakukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang diwakili oleh Tony Richard Samosir selaku ketua umum pada 5 Desember 2019.

Dalam sidang MA yang dipimpin oleh Ketua Majelis Prof. Supandi dan anggota Majelis Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Sedangkan Panitera pengganti ialah Teguh Satya Bhakti.

KPCDI menggugat Presiden RI ke MA atas permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 34 Ayat 1 dan Ayat 2 Peraturan Presiden RI 75/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Di mana pada Pasal 34 Ayat 1 berbunyi Iuran bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP), yaitu sebesar Rp 42 ribu per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III, Rp 110.000 kelas II dan Rp 160 ribu kelas I.

Pasal 34 Ayat 2 berbunyi Besaran iuran sebagaimana pada Ayat 1 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.

KPCDI menilai sangat keberatan atas diterbitkannya Perpres 75/2019 khususnya bagi para pasien cuci darah.

Dalam permohonan itu, MA telah memberikan jawaban atau pendapat MA yang telah memperhitungkan efektivitas ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis.

Dari aspek yuridis, MA menilai program jaminan sosial kesehatan masyarakat merupakan suatu pemberian pengharapan yang sangat besar kepada masyarakat yang tentu sudah dipertimbangkan dari segala aspek yang terkait oleh pemerintah, terutama aspek penganggarannya.

"Oleh karena itu, kenaikan iuran BPJS yang telah mengecewakan masyarakat pada umunya dinilai bertentangan dengan asas pengharapan yang layak, yaitu pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya untuk mewujudkan harapan yang sudah diberikan kepada masyarakat menjadi kenyataan," kata Majelis Hakim MA seperti dikutip dari salinan putusan tersebut.

Selain itu, MA memperhatikan konsideran faktual pada Perpres 75/2019 yang ternyata tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS.

"Pertimbangan faktual lebih menekankan pada penyesuaian iuran, karena adanya defisit anggaran. Timbul pertanyaan, apakah dengan menaikkan iuran BPJS dapat menyelesaikan permasalahan defisit anggaran secara permanen? Apakah masyarakat mampu untuk membayarnya," jelas Majelis Hakim MA.

Berdasarkan fakta yang tak perlu dibuktikan lagi kata Majelis Hakim, ternyata untuk menutupi defisit anggaran BPJS tersebut, pemerintah telah beberapa kali melakukan penyesuaian dan menyuntikkan dana, akan tetapi anggaran BPJS masih saja defisit.

"Oleh karena itu, menurut Mahkamah Agung ada akar masalah yang terabaikan dipertimbangkan, yaitu manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan," kata Majelis Hakim.

Dengan demikian, menurut MA ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai.

Pada aspek sosiologis, Majelis Hakim MA mempertimbangkan banyak hal. Intinya MA menilai kenaikan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 secara sosiologis adalah bertentangan dengan kehendak masyarakat.

Dari aspek filosofis, MA menilai terbuktinya konsideran faktual Perpres 75/2019 tidak mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat dalam bidang ekonomi saat ini.

"Maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 secara sepihak menaikkan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP guna menutupi defisit dana BPJS, dianggap telah melanggar asas pemberian pertimbangan secara adil dan berimbang," tutur Majelis Hakim.

Dengan demikian, MA memiliki berbagai pertimbangan dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis tersebut di atas terdapat cacat yuridis secara substansi pada ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 karena bertentangan dengan Pasal 2 UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan bertentangan dengan Pasal 2 UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Menimbang, bahwa konsekuensi yuridis lebih lanjut dalam kondisi yang demikian adalah menyebabkan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 a quo menjadi batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menimbang, bahwa untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan jaminan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial agar dapat berjalan dengan baik, MA memandang perlu menguraikan akibat hukum terhadap iuran yang terlanjur telah dibayarkan sebelum ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 dibatalkan.

"Mengadili. Pertama, mengabulkan sebagian permohonan keberatan hak uji materiil dari pemohon KPCDI tersebut. Dua, menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 tentang perubahan atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 2 UU RI 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2 UU RI 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial," ungkap Majelis Hakim.

Tiga, menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 tentang perubahan atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Empat, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk selebihnya. Lima, memerintahkan kepda Panitera MA untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada percetakan negara untuk dicantumkan dalam berita negara. Enam, menghukum termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta," pungkas Majelis Hakim MA.

Namun demikian, hingga awal April ini putusan MA tersebut belum dijalankan oleh pemerintah. Masyarakat masih membayar BPJS Kesehatan dengan iuran yang naik dua kali lipat di tahun ini.(rmol)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita