GELORA.CO - Ada topik yang mengemuka di negeri tropis ini, yakni virus Corona vs panas sinar matahari. Pihak yang berbicara terkait tema ini adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Pernyataan siapa yang benar?
Luhut Pandjaitan berbicara tentang hal ini dalam rapat koordinasi yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (2/4). Luhut mengatakan virus SARS-CoV-2 tidak akan tahan panas dan lembap.
"Dari hasil modelling kita yang ada, cuaca Indonesia, ekuator ini yang panas dan juga humidity (kelembapan) tinggi itu untuk COVID-19 ini nggak kuat," ujar Luhut.
Terlepas dari pernyataan Luhut, panas dan lembap adalah karakter iklim tropis di Indonesia. Adapun di belahan bumi utara atau selatan yang jauh dari khatulistiwa, iklimnya adalah subtropis, punya empat musim, mengalami fase dingin dan kering. Negara subtropis yang dilanda COVID-19 antara lain Jepang, Korea Selatan, China, Iran, Italia, hingga Amerika Serikat. Negara tropis yang dilanda COVID-19 antara lain Indonesia, Malaysia, Thailand, hingga Brasil dan Ekuador.
Pada Rabu (17/3), Mendagri Tito Karnavian juga berbicara mengenai tema virus Corona versus panas sinar matahari. Dia mengimbau masyarakat tidak panik menghadapi pandemi ini. Penularan COVID-19 bisa dicegah, antara lain dengan sinar ultraviolet dari sinar matahari.
Ini bisa diatasi dengan mencegah penularan dan memperkuat daya tahan tubuh, dengan olahraga, terpapar sinar ultraviolet juga bagus, sinar matahari. Kemudian memperkuat daya tahan tubuh dengan makan makanan yang sehat, cuci tangan, memakai hand sanitizer," tutur Tito dalam jumpa pers seusai rapat dengan Gubernur Anies Baswedan di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, kala itu.
Sebelum Luhut dan Tito berbicara mengenai Corona vs panas sinar matahari, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah merilis keterangan mengenai hal itu. Kominfo memberi cap informasi yang menyatakan virus Corona bisa mati karena terpapar sinar matahari sebagai disinformasi.
"[DISINFORMASI] Virus Corona bisa Mati karena Terkena Sinar Matahari," demikian tulis Kemenkominfo dalam situs resminya, tertanggal 4 Maret 2020.
Informasi yang dicap Kominfo sebagai disinformasi adalah informasi berantai yang beredar lewat WhatsApp. Informasi itu menyebut virus Corona bisa mati pada suhu 26-27 derajat, virus itu akan hilang sepenuhnya saat terkena sinar matahari.
Disinformasi adalah kabar salah, pembuat serta penyebarnya mengetahui bahwa informasi itu salah. Produksi dan penyebaran informasi salah ini dilakukan dengan sengaja untuk tujuan politik atau komersial. Begitulah definisi disinformasi yang dituliskan Kuskridho Ambardi dalam 'Jurnalisme, Berita Palsu, dan Disinformasi: Konteks Indonesia'.
Terlepas dari mana yang benar dan mana yang salah, paparan sinar matahari pada waktu-waktu tertentu memang baik bagi kesehatan. Berjemur bukan untuk mematikan virus, namun untuk mendapatkan vitamin D3. Vitamin ini menambah kekebalan tubuh manusia.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan virus Corona tidak akan bertahan lama di cuaca panas, seperti Indonesia. Teori-teori tanpa bukti tersebut sudah pernah terpatahkan.
Jadi teori-teori seperti itu sudah terpatahkan pada saat kita bicara dulu tidak ada Corona di Indonesia, tapi ternyata akhirnya ada. Ya karena waktu itu ada juga yang mengatakan seperti itu. Buktinya Thailand juga walaupun dengan iklim yang sama dengan Indonesia, Thailand juga sudah ada duluan kan," ujar Waketum IDI Adib Khumaidi saat dihubungi, Kamis (2/4/2020).(dtk)