GELORA.CO - Beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan telah menerbitkan peraturan nomor 9 Tahun 2020 untuk memberi pedoman bagi daerah yang ingin menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Aturan ini mencakup larangan bagi transportasi yang beraktivitas di wilayah PSBB agar membatasi penumpang, bahkan melarang membawa penumpang bagi ojek online (ojol).
Belum berselang lama, peraturan milik Terawan Agus Putranto tersebut harus dilengkapi --jika tidak ingin dikatakan dihadapi-- oleh peraturan menteri lain, yakni Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi untuk pencegahan virus korona. Aturan ini diteken oleh Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi pengganti sementara Menteri Perhubungan.
Kedua peraturan memang memiliki wilayah yang berbeda, namun demikian isinya bersinggungan pada titik aturan mengenai pembatasan penumpang bagi ojek berbasis aplikasi atau ojol. Pihak Menteri Kesehatan melarang ojol membawa penumpang saat wilayah masih berstatus PSBB, sementara Menteri Perhubungan justru mempersilahkannya. Keduanya tetap berkhidmat untuk memutus rantai penyebaran virus baru di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi, bentrokan dua peraturan menteri ini dikhawatirkan menimbulkan kebingungan, baik bagi Gubernur wilayah PSBB maupun bagi penyedia jasa transportasi online. Pasalnya, mereka bisa saja disebut melanggar sekaligus mematuhi aturan kalau ternyata membawa penumpang itu dilindungi peraturan yang lain. Akhirnya timbul lah penilaian bahwa telah terjadi kontradiksi hukum.
Hal itu diakui oleh pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen Agus Pambagio. Dia mengatakan Peraturan Menteri Perhubungan tersebut memiliki benturan di dalam dan di luar peraturan. Benturan di luar karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur DKI No. 33 Tahun 2020. Sementara benturan di dalam karena terdapat dua pasal yang kontra sekaligus.
"Permenhub ini sesat karena membuat pelaksanaan Pergub No. 33 Tahun 2020 bermasalah dan membuat aparat menjadi ambigu dalam melakukan penindakan hukum. Padahal tanpa penindakan hukum pelaksanan PSBB menjadi tidak ada gunanya,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Hari ini (12/4), pihak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah mengklarifikasi dalam konferensi pers di Kemenhub, bahwa hal itu bukan lah kontradiksi peraturan. Kemenhub sendiri sebenarnya mengatur bahwa pihaknya melarang ojol membawa penumpang. Terbukti ketika pelarangan itu tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c Permenhub No.18/2020. Akan tetapi, mereka membuka izin jika sewaktu-waktu ojol maupun opang (nama lain dari ojek pangkalan) berkepentingan untuk melayani masyarakat.
Oleh karena itu, tertulis lah dalam pasal sesudahnya, yakni Pasal 11 ayat (1) huruf d bahwa:
"Dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan sebagai berikut:
1. aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar;
2. melakukan disinfeksi kendaraan dan
perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan;
3. menggunakan masker dan sarung tangan; dan
4. tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan diatas normal atau sakit."
"Pasal 11, satu hal yang harus kita baca, bahwa yang kita dahulukan dalam pengaturan ini Pasal 11 Ayat 1 poin c itu justru kita menginspirasi dan bertanggungjawab terhadap semangat yang sama, terbukti ini yang menjadi awal sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang, itu kita semangat sama dengan Peraturan Menteri Kesehatan dan itu tidak bertentangan," demikian diucapkan Staf Ahli Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi Menhub, Umar Aris saat konferensi pers.
Namun, ketentuan ini masih menyisakan pertanyaan, kepentingan pelayanan seperti apakah yang dimaksud Kemenhub sehingga membolehkan ojol membawa penumpang. Pasalnya, istilah "melayani kepentingan masyarakat" merupakan frasa yang abstrak sehingga membutuhkan pembatasan makna. Bagi ojol, barangkali menafsirkannya dengan kebutuhan masyarakat untuk bepergian ke sana kemari sehingga menjadi landasan bagi mereka untuk membawa penumpang, meski diikuti protokol yang ada.
Keadaan tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi lonjakan aktivitas yang besar bagi para ojol membawa penumpang. Apalagi, dampak ekonomi yang diakibatkan wabah korona membuat mereka yang bekerja dengan penghasilan harian sangat memanfaatkan kesempatan tersebut. Pemerintah sendiri akan mengalami kerepotan yang berulang karena peraturan yang mereka buat sendiri mengandung ambiguitas.
Anggota komisi kesehatan (Komisi IX) DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, memandang peraturan yang tak beraturan tersebut menunjukkan sikap ketidaktegasan dalam menetapkan regulasi. Pemerintah pernah memutuskan akan memberikan bantuan dana dan relaksasi cicilan kredit bagi driver ojol yang terdampak korona. Kebijakan itu di antara jalan dan tak berjalan saat ini karena belum dirasakan para buruh transportasi ini.
Namun sekarang, pemerintah telah membuka ruang dan peluang bagi ojol untuk mencari penghasilan di tengah musim pandemi melalui izin yang ditetapkan Kemenhub. Menurut Saleh, hal ini mengindikasikan pemerintah sebetulnya tidak tegas membantu para driver ojol yang sedang dalam kesusahan itu.
"Jadi itu sama dengan ketidaktegasan pemerintah apakah akan memberikan bantuan subsidi atau bantuan sosial kepada mereka yang terdampak langsung atau tidak," kata Saleh, Minggu (12/4).
Politikus Partai Amanat Nasional ini menjelaskan, pembatasan terhadap transportasi online secara umum, semestinya diikuti dengan pemberian kompensasi. Hal itu agar peraturan yang sudah ditetapkan tidak ditarik ulur kembali dengan memberi izin ojol membawa penumpang. "Tapi jika tidak ada kompensasi bagi mereka yang terdampak akibat PSBB ini maka ya tentu agak sulit." ujar Saleh.
Dualisme peraturan ini agaknya membuat sejumlah pihak kesulitan antara mematuhi atau meneruskan pekerjaan yang awalnya sempat dilarang. Saleh memandang kebijakan untuk melarang ojol membawa penumpang akan sulit berjalan efektif, jika bukan malah peraturan ini kan dicabut nantinya.
Kesulitan menerapkan itu dilihat dari banyaknya jumlah masyarakat yang menggantungkan nasib pada aplikasi transportasi ini. Jika driver ojol benar-benar harus dihentikan sementara selama wabah belum surut, selama itu pula para penyedia jasa transportasi ini hidup dalam ketidakpastian. Padahal, mayoritas mereka yang bekerja mempunyai tanggungan keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya.
"Karena pemerintah juga tidak bisa melarang secara tegas ya untuk ojek online ini termasuk ojek-ojek yang lainnya. Karena segmentasi orang yang bekerja dibidang itu juga luar biasa besar, jadi ya kalau dilarang berapa banyak orang yang akan terdampak," ucap legislator dari dapil Sumatera Utara II ini.
Saleh mengimbuhkan, kebingungan aturan ini seharusnya tidak terjadi manakala kondisi negara sedang dalam keadaan darurat. Pemerintah diminta tidak menutup mata jika ada akibat-akibat lain yang ditimbulkan dari penerapan PSBB. Terlebih, daerah yang sudah mengajukan metode pembatasan itu sudah bertambah.
Ditetapkannya Jakarta sebagai wilayah PSBB akan diikuti juga oleh daerah sekitarnya, seperti Bogor dan Tangerang Selatan. Bahkan, kawasan di provinsi lain seperti Kalimantan dan Papua pun sudah ada daerah yang mengajukan pemberlakuan PSBB.
Jika angka daerah semakin melonjak untuk menerapkan PSBB, maka semakin besar pula driver ojol yang terancam pekerjaannya. Ribuan atau bahkan ratusan ribu ojol akan gigit jari saat melihat ladang mata pencarian mereka disegel sementara oleh pemerintah. "Jadi ini menurut saya adalah turunan dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari penerapan status PSBB itu," kata Saleh. []