Konsekuensi Penetapan Covid-19 Sebagai Bencana Nasional

Konsekuensi Penetapan Covid-19 Sebagai Bencana Nasional

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Indra, SH. MH
PADA 10 Maret 2020 lalu WHO telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kewaspadaan Indonesia menghadapi pandemik Covid-19 dengan meningkatkan status darurat nasional.

Setelah lebih dari satu bulan WHO menyurati Presiden Joko Widodo, akhirnya baru 13 April 2020 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres 12/2020 yang menetapkan penyebaran wabah Covid-19 sebagai bencana nasional.

Pasal 1 angka 1 UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan: bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Adapun Pasal 1 angka 3 UU 24/2007 menyatakan, bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

Keputusan Presiden Joko Widodo menetapkan masalah Covid-19 sebagai bencana nasional, merupakan langkah yang strategis, meskipun agak terlambat. Karena semestinya kebijakan ini keluar sebulan lalu sehingga bisa dilakukan penanganan wabah Covid-19 secara cepat, taktis, dan menjadi dasar aturan-aturan relaksasi yang dirilis belakangan ini.

Namun demikian, setidaknya dengan status bencana nasional, seharusnya dapat membuat Presiden Joko Widodo dan seluruh jajaranya dapat bergerak lebih cepat, taktis, dan tepat.

Kondisi pademik wabah Covid-19 saat ini merupakan kondisi yang tidak normal (darurat), maka harus dihadapi dengan SOP kondisi bencana nasional. Selain itu, dengan ditetapkan sebagai bencana nasional, artinya UU 24/2007 berikut peraturan turunannya berlaku.

Beberapa hal krusial yang mesti diperhatikan, diantaranya:

A. Berbagai tanggung jawab pemerintah

Tanggung jawab pemerintah pusat:

Pasal 6 UU 24/2007: Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana; c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; d. pemulihan kondisi dari dampak bencana; e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai; f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Tanggung jawab Pemerintah Daerah:

Pasal 8 huruf d UU 24/2007 menyatakan: Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana; c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.

Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga punya tanggungjawab sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 69 UU 24/2007: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan santunan duka cita dan kecacatan bagi korban bencana. (2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat diberi pinjaman lunak untuk usaha produktif. (3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pinjaman lunak untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. (4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan.

B. Memperkuan posisi BNPB

Pasal 24 PP 21/2008 menyatakan, pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan, BNPB mempunyai kemudahan akses di bidang pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, dan karantina, perizinan, pengadaan barang/jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang, penyelamatan, dan komando untuk memerintahkan instansi/lembaga lain.

Dengan kata lain, konsekuensi terbitnya Kepres 12/2020 juga memperkuat posisi dan peran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 serta BNPB. Kini BNPB memiliki dasar kuat untuk bertindak maupun menyusun program penanganan wabah virus corona di Indonesia.

Konsekuensi strategis lain terbitnya Kepres 12/2020 adalah kemudahan akses mobilisasi bantuan dari luar negeri. Mulai dari kemudahan perizinan imigrasi bagi personel asing yang akan membantu, kemudahaan administrasi kepabeanan atas masuknya barang bantuan dari luar, serta sejumlah relaksasi aturan maupun birokrasi lainnya.

UU Karantina Kesehatan, PP dan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak memiliki fungsi komando. Dengan demikian, maka sekarang Ketua Gugus Tugas resmi secara hukum mempunyai fungsi komando.

Dengan penetapan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional, pelaksana penanggulangan bencana adalah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Pusat dan Daerah. Gugus tugas ini sebagai pos komando dan pengendali utama penanggulangan bencana Covid-19 dengan di bawah komando Presiden. Komandan Gugus Tugas Pusat adalah Kepala BNPB. Sedangkan Gugus Tugas Provinsi adalah gubernur, bupati, wali kota. Wakil Komandan Gugus Tugas diisi dari unsur TNI, Polri, dan unsur lain yag ditunjuk Ketua Gugus Tugas.

C. Dana Penangulangan

Tentang dana penanggulangan, pada dasarnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang mana pemerintah dan pemerintah daerah juga mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya sebagaimana disebut dalam Pasal 60 ayat (1) dan (2) UU 24/2007.

Selain itu, pada Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU 24/2007 mengatur pada saat tanggap darurat, BNPB menggunakan dana siap pakai yang disediakan oleh Pemerintah dalam anggaran BNPB. Sedangkan yang dimaksud dengan dana "siap pakai" berdasarkan penjelasan Pasal 6 huruf f UU 24/2007, yaitu dana yang dicadangkan oleh pemerintah untuk dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.

Pada pengaturannya, penggunaan dana penanggulangan bencana dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, BNPB, dan/atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Demikian yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) PP 22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.

Akses Dana Siap Pakai BNPB, sesuai UU 24/2007 harus melibatkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi, Kabupaten atau Kota daerah masing-masing. Dalam Pasal 50 UU tentang Penanggulangan Bencana ini, BNPB dan BPBD mempunyai kemudahan akses antara lain pengerahan sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai dan karantina, perizinan. Kemudahan akses lainnya yang didapat BNPB dan BPBD adalah pengadaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan, penyelamatan, dan komando untuk memerintahkan sektor atau lembaga.


D. Berlakunya status keadaan memaksa (force majeure atau overmacht)

Penetapan wabah covid-19 sebagai bencana nasional oleh Presiden Joko Widodo, juga berkonsekuensi pada hukum perikatan/perjanjian. Pada kondisi bencana nasional maka status force majeure atau overmacht, yang disebut sebagai keadaan memaksa (keadaan kahar), akan muncul dengan sendirinya (Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata). Kondisi force majeure dalam status bencana nasional semua pihak dapat keluar/tidak mengikuti ketentuan normal perjanjian/kontrak. Hal ini diantaranya:

- berimplikasi terhadap semua perjanjian hukum antara para pihak. Misalnya perjanjian bisnis, kontrak dagang, perjanjian kredit, perjanjian kerja, dan seterusnya.

- para pihak dapat tidak membayar penggantian biaya, kerugian, dan bunga sebagai dampak keadaan memaksa (force majeure).

Namun demikian meski status force majeure, para pihak tidak boleh ada itikat buruk. Dalam situasi force majeur, para pihak yang terikat perjanjian seyogyanya duduk bersama dan mencari solusi bersama.

(Praktisi hukum, advokat.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita