GELORA.CO - Guru Besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Susi Dwi Harijanti tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya atas 'Perppu Corona'. Sebab, Perppu itu dinilai membuat pejabat negara 'kebal hukum' dan mengatur yudikatif secara sepihak. Ternyata bukan Susi semata yang khawatir.
Perppu yang dimaksud yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Dalam catatan detikcom, Minggu (26/4/2020), salah satu yang dikhawatirkan yaitu Pasal 27 yang berbunyi:
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Sesuai Pasal 27 ayat 2, maka orang tidak bisa dapat dituntut pidana perdata. Jadi kalau sudah menjalankan menurut perppu. para pejabat itu tidak dapat dituntut. Ini punya persoalan dengan pasal ini. Apakah betul karena ketakutan pada kasus bailout Century? oleh karena itu dibuat ketentuan ini?" kata Susi yang disampaikan dalam webinar 'Guru Besar Hukum Bicara Perlindungan Hukum Bagi Warga Negara Saat Darurat COVID-19'.
Menurut Susi, Pasal 27 ayat 3 juga menyimpan masalah. Di situ diatur segala tindakan bukan merupakan objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Bagaimana mungkin perppu, yang berdasarkan penilaian subjektif presiden, mengatur lembaga negara lain (cabang kekuasaan kehakiman)?" ujar Susi.
Menurut Susi, kompetensi harusnya diatur di UU. Oleh sebab itu, aneh apabila seorang Presiden sudah bisa mengkapling sebuah kasus masuk PTUN, yang sejatinya menjadi kewenangan yudikatif.
"Ini mengkhawatirkan. Perppu dapat mengatur cabang kehakiman," cetus Susi.
Adapun menurut guru besar UI, Prof Maria Farida, Perppu di atas sudah bermasalah secara fungsi keberlakuan. Seharusnya, peraturan berlaku untuk waktu yang sangat lama, bukan sesaat. Tapi dalam perppu itu, ditulis untuk menangani COVID-19.
"Apakah peraturan ini berlaku? Peraturan itu berlaku terus-menerus. Saya mengkhawatirkan yang soal mengatur ke depan (Perppunya). Tapi di sana dikatakan untuk pandemi Corona. Bagaimana bila COVID-19 sudah selesai?" kata Maria.
Dari UGM, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril juga mengkritik keras Perppu 1/2020 itu. Sebab, Perppu Corona itu 'menghapus' delik korupsi di kala kondisi krisis.
"Ketentuan Pasal 27 itu memberikan imunitas dan kekebalan hukum bagi pihak-pihak tertentu," kata Oce.
Hak istimewa itu diberikan kepada pejabat-pejabat di bidang keuangan, yaitu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kemenkeu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mereka diberikan kekebalan hukum secara mutlak. Kebal hukum secara pidana, perdata, dan bahkan administratif
"Kekebalan hukum yang luar biasa, yang bahkan Presiden pun tidak memilikinya," cetus Oce.
Dari Senayan, anggota Parpol penyokong utama pemerintah, Masinton Pasaribu dari PDIP mengkritik Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Masinton menilai penerbitan itu Perppu sebagai sabotase konstitusi.
"Perpu No 1 Tahun 2020 kepentingan nyata kaum Oligarki. Toean.. Ini bukan Perppu, ini sabotase Konstitusi," tulis Masinton.
Masinton juga menyoroti poin pejabat pemerintah tidak bisa dituntut dalam pelaksanaan Perppu itu. Masinton menilai hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
"Dalam melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 pejabat pemerintah tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara. Secara norma bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah," ujar Masinton.
Adapun dari Partai Demokrat (PD) megkritisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 berpotensi melanggar konstitusi. Sebab, aturan yang menjadi dasar peraturan itu belum disetujui DPR RI.
"Bahwa dasar penetapan Perpres No 54 tahun 2020 adalah Perppu No 1 tahun 2020 yang belum mendapat persetuan DPR. Akan menjadi masalah besar bagi pemerintah jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR, maka landasan penerbitan Pepres menjadi kosong atau tidak mempunyai kekuatan hukum," kata Waketum PD, Marwan Cik Asan.
Bila suara-suara dari DPR sumbang, apa jadinya nasib Perppu? Padahal Perppu itu harus disetujui DPR, maksimal 3 bulan sejak disahkan. Di sisi lain, masyarakat sudah ramai-ramai menggugat Perppu itu ke MK.
Sedikitnya 3 nomor perkara yang terdaftar di MK menggugat Perppu Corona. Gugatan pertama dilayangkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dkk, gugatan kedua oleh Amien Rais dkk dan gugatan terakhir diajukan sendirian oleh Damai Hari Lubis.
Mereka semua sepakat meminta Pasal 27 Perppu Corona dihapus. Adapun pasal-pasal lain juga diminta dihapus dengan berbagai alasan.
Menghadapi berbagai reaksi masyarakat, pakar hukum yang sudah masuk lingkar kekuasaan, Mahfud Md menghadapinya dengan santai. Selaku profesor hukum yang kini duduk sebagai Menko Polhukam, reaksi masyarakat di atas dinilai wajar.
"Perppu 1/2020 bertujuan menjaga rakyat dari keterpurukan sosial dan ekonomi karena COVID-19. Tak ada yang melarang mengkritisi isinya di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atau mengujinya dengan judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi) atas Perppu tersebut jika ada potensi dikorupsikan. Dari semuanya nanti bisa lahir keputusan yang baik bagi bangsa," kata Mahfud.(dtk)