RADIO-radio Jawa Timur era 1980-an sering menyajikan hiburan drama ludruk dengan lakon Sogol Pendekar Sumur Gemuling. Televisi nasional TVRI kala itu juga menyiarkan pagelaran itu.
Tentu banyak versi lakon pendekar Jember itu, karena para pecinta kesenian daerah senang mengikuti sakti mandragunanya tokoh desa itu. Tahun 1980 hingga 1990-an belum ada internet dan tidak banyak pilihan, sehingga drama di radio dan siaran televisisi menjadi hiburan utama.
Banyak modifikasi narasi drama menceritakan betapa banyak usaha untuk membunuh Sogol, namun gagal. Para pendekar saingan antar kampung, tokoh masyarakat yang terusik, dan musuh bebuyutannya adalah mantri polisi Belanda.
Walaupun akhirnya lawan-lawannya bisa membunuh Sogol, namun sang pendekar hidup lagi. Konon berkat ajian rawa rontek, setelah dikubur pun Sogol bisa bangkit. Sang Ibu yang memanggilnya, “Sogol kemari, Nak!” Dia hidup lagi.
Mungkin masyarakat Indonesia itu bermental Sogol semua, dalam arti komunal bukan individual. Lihatlah sejarah. Bisa jadi bangsa ini terjerembab, tapi jiwanya bangun lagi. Setelah meraih kemerdekaan dengan susah payah, mentalnya jatuh dijajah Belanda, penderitaan singkat era Jepang, dan perang revolusi mempertahankan kedaulatan, kita bisa bangkit.
Terulang lagi ketika huru-hara 1965 berlalu, ekonomi kita pun hancur. Bangsa ini pelan-pelan membangun lagi. Orde Baru pun pada saatnya juga runtuh, lalu krisis ekonomi menghantam.
Banyak ramalan melihat gelapnya masa depan negeri kepulauan ini. Disintegrasi mengancam. Keragaman etnis dan suku saat itu sedang rawan konflik. Ternyata, ramalan itu salah. Indonesia masih berdiri hingga kini.
Itulah kekuatan manusia Indonesia. Tahan menderita, dengan kepasrahannya, tetapi sulit mati total.
Dalam menghadapi Covid-19 ini, harapan kita jiwa Sogol ada di masyarakat. Banyak mitos dan legenda Nusantara yang menceritakan kesaktian para pendekar. Daeng Gassing dari Bugis, Tumenggung Jalil dari Banjar, Sisingamangaraja dari Batak, Si Pitung dari Betawi, dan lain-lain.
Tentu tidak tepat kita berharap orang-orang saat ini sakti tidak tertembus virus corona. Kita semua bisa saja jatuh sakit karena corona. Sebagian dari pasien bisa sembuh, namun beberapa diantaranya dipanggil Sang Pencipta.
Kita tidak sakti seperti para pendekar Sogol, Daeng Gessing, Tumenggung Jalil, atau Sisingamangaraja. Namun, kesaktian itu terletak pada kebersamaan dan solidaritas dalam menghadapinya.
Masyarakat Indonesia itu agamis. Sikap ini terlihat, ketika sentimen keagamaan dihadirkan di ruang publik dan dalam panggung politik di era demokrasi ini. Politik dan faktor keagamaan masih berasa campur aduk.
Namun, kita juga dermawan, mungkin karena keimanan dan norma agama. Sikap itu sekaligus menandai bahwa komunalitas masih kuat mengakar dalam struktur masyarakat.
Sejak bermulanya wabah corona, banyak usaha pengumpulan dana dilakukan. Di organisasi keagamaan, kampus-kampus, dan badan amal. Komunalitas dan keagamaan menandai masyarakat tradisional. Modernitas dan globalisasi dihadapi secara komunal tradisional.
Sikap kebersamaan arus bawah ini mengingatkan bagaimana bangsa ini melewati ujian krisis ekonomi satu dasawarsa yang lalu. Waktu itu, gerakan pemerintah mempunyai sisi-sisi keterbatasan dalam mengatasi keadaan. Demokrasi masih tertatih-tatih. Desentralisasi dalam masa percobaan.
Ekonomi rakyat ternyata juga tertopang oleh kekuatan informal di pasar-pasar tradisional. Bakso dorong, tenda-tenda pecel lele, kios-kios kecil, berbagai sektor informal lainnya turut memulihkan ekonomi skala kecil. Rakyat menghidupi dirinya, tanpa berharap subsidi pemerintah.
Tentu ini berbeda dengan masyarakat Eropa dengan sistem pemerintahan yang mapan dan mampu memberi jaminan rakyat kala terhimpit. Rakyat Indonesia lebih pasrah, dan mungkin ini mendorongnya untuk sedikit lebih mandiri.
Jika pemerintah saat ini bertindak formal, melalui kebijakan pembatasan gerak tingkat nasional dan tingkat daerah, berusaha menyediakan anggaran tambahan, janjinya akan memenuhi fasilitas dan tenaga kesehatan, masyarakat dalam skala kecil berusaha menyelamatkan diri dengan caranya sendiri.
Lockdown diberi tafsir lokal selevel RT dan RW dengan memasang portal-portal penghalang bambu di gang-gang dengan berbagai tulisan untuk membatasi gerak warga.
Pendekar Sogol menceritakan kekuatan informal, seperti kisah Robinhood di Inggris. Seorang biasa yang tidak ditopang kekuatan raja atau bupati. Sogol ternyata nekat melawan mantri polisi Belanda. Lurah, bayan (juru penerang), tokoh masyarakat, saingan pendekar lain menghalanginya.
Sogol akhirnya juga gugur, karena ayam jago sebagai jimat yang dipelihara ibunya terbunuh. Kekasih setia Sogol, Tuminah juga diterjang peluru. Legenda itu hidup dan diingat bukan hanya kesaktian sang pendekar, tetapi keberaniannya. Perlawanan Sogol memang berakhir. Namun kepahlawanannya menjadi mitos dan melegenda.
Masyarakat Indonesia telah berhasil melewati krisis ekonomi menjelang Reformasi. Covid-19 ini adalah ujian selanjutnya. Untuk menjadi sakti tidak cukup dengan ayam jago yang dipelihara sang ibu seperti Sogol.
Saat ini bangsa ini perlu menyadari pentingya mental, daya tahan, dan akhirnya membangun sains secara mandiri. Kesaktian komunal tradisional seperti Sogol tidak bisa menjamin rintangan di kemudian hari.
Perlu Sogol era milenial, yang berjimat sains dan teknologi, bukan ajjian rawa rontek seperti Sogol, untuk bertahan seperti saat ini dan bersaing di kemudian hari.
Kini, para dokter dan tenaga medis adalah Sogol yang sesungguhnya. Banyak yang gugur karena tertular pasien. Tetapi mereka tidak putus asa, setia dan tetap mengobati. Pemerintah dan masyarakat perlu menyadari itu, dan mendukung para Sogol itu untuk menjaga kita semua. Itulah Sogol saat ini dan masa depan. (*)