GELORA.CO - Keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertanyakan setelah fakta persidangan terdakwa Saeful Bahri mengungkap bahwa transaksi dugaan uang suap di kantor DPP PDIP. Sementara hingga saat ini, KPK belum melakukan penggeledahan di kandang banteng.
Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun mengatakan, politik kekuasan saat ini semakin berkuasa dibanding hukum, terkhusus pada lembaga anti rasuah.
"Kalau secara politik itu menunjukan bahwa politik nampak lebih berkuasa dari hukum. Pada saat yang sama itu juga membenarkan dugaan bahwa KPK sudah dilemahkan. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar SMK pada September-Oktober tahun lalu berarti benar," ucap Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (24/4).
Apalagi, fakta persidangan dengan terdakwa Saeful Bahri terungkap adanya proses transaksi uang yang terjadi di Kantor DPP PDIP yang dilakukan oleh para tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pergantian anggota DPR RI terpilih 2019-2024.
Seharusnya, sambung Ubedilah, KPK independen dan berani menggeledah kantor DPP PDIP. Di saat yang sama PDIP juga jika merasa tidak bersalah harusnya tidak takut digeledah, PDIP harusnya memberi contoh sebagai partai yang pro pada pemberantasan korupsi.
“Logisnya partai yang modern dan pro pada penegakan hukum harusnya jika ada kadernya diduga terlibat korupsi apalagi terbukti, mestinya partai menyerahkannya pada penegak hukum dan tidak perlu membabi buta membela kadernya," tegas Ubedilah.
Dalam persidangan terdakwa Saeful Bahri, dari keterangan saksi yang telah dihadirkan Jaksa KPK mengungkapkan telah terjadinya transaksi uang dari kader PDIP yang juga tersangka dalam kasus ini, ialah Harun Masiku dan terdakwa Saeful Bahri kepada tim hukum DPP PDIP, Donny Tri Istiqomah sebanyak dua kali.
Pertama uang sebesar Rp 400 juta diserahkan Harun Masiku kepada Donny melalui Staf DPP PDIP, Kusnadi yang juga merupakan office boy (OB), yang disebut dekat dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP, Hasto Kristiyanto. Kedua, uang sebesar Rp 170 juta dilakukan oleh Saeful Bahri kepada Donny melalui seorang bernama Patrick alis Geri.
Dua transaksi atau penyerahan uang yang bersumber dari Harun Masiku tersebut dilakukan di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat pada Desember 2019.
"Maaf, dari fakta-fakta persidangan semakin jelas bahwa ada celah hukum yang mengarah pada keterlibatan elit PDIP dalam transaksi koruptif tersebut," kata Ubedilah.
Dengan demikian, Ubedilah mendesak agar penegak hukum dalam hal ini KPK untuk menuntaskan perkara dugaan suap yang juga melibatkan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan Kader PDIP lainnya, yakni Agustiani Tio Fridelina.
"Saya kira PDIP sebagai partai yang membawa nama Demokrasi harusnya tidak menghambat proses hukum meskipun terhadap kadernya. Biarkan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya," pungkas Ubedilah. (Rmol)