GELORA.CO - Presiden Amerika Serikat Donald Trump meragukan penghitungan jumlah korban wabah virus corona di China.
Keraguan itu disampaikan Trump setelah anggota parlemen AS memaparkan data intelijen soal wabah Covid-19 di China.
Jumlah korban terinfeksi dan meninggal akibat virus corona di AS sudah melampaui China, meskipun wabah ini bermula di Negeri Tirai Bambu. Selain itu, usia wabah Covid-19 di AS belum selama di China yang dimulai sejak akhir Desember 2019.
Data Universitas Johns Hopkins mengungkap, hingga Rabu China melaporkan 82.361 kasus virus corona, sebanyak 3.316 di antaranya meninggal.
Di hari yang sama, AS melaporkan 206.207 kasus, 4.542 di antaranya meninggal. Jumlah tersebut mengukuhkan AS sebagai negara dengan kasus infeksi tertinggi di dunia. Namun dalam jumlah kasus kematian masih di bawah Italia.
“Bagaimana kita tahu (jika mereka akurat). Jumlah mereka tampaknya lebih sedikit di sisi terang,” kata Trump, dikutip dari AFP, Kamis (2/4/2020).
Meski meragukan penghitungan jumlah korban serta menyebut China tak transparan soal informasi virus corona, Trump menegaskan hubungannya dengan China tetap baik, termasuk dengan Presiden Xi Jinping.
Anggota parlemen Partai Republik, merujuk laporan Bloomberg yang mengutip sumber di intelijen AS, mengatakan, China kemungkinan telah menyesatkan komunitas internasional tentang infeksi yang dimulai dari Kota Wuhan itu. Beberapa pejabat intelijen menyebut angka yang diungkap China palsu.
Senator Partai Republik Ben Sasse menyebut data yang disampaikan China sebagai propaganda sampah.
"Klaim bahwa Amerika Serikat memiliki lebih banyak kasus kematian dibandingkan China akibat virus corona adalah palsu. Tanpa mengomentari informasi rahasia, ini jelas sangat menyakitkan. Partai Komunis China telah berbohong dan akan terus berbohong soal virus corona demi melindungi rezim,” kata Sasse.
Hal senada disampaikan anggota Komisi Urusan Luar Negeri Kongres juga dari Republik, Michael McCaul. Dia menyebut China bukan mitra yang dapat dipercaya dalam perang melawan Covid-19.
"Mereka berbohong kepada dunia tentang penularan virus dari manusia ke manusia, membungkam para dokter dan jurnalis yang mencoba melaporkan kebenaran, dan sekarang tampaknya menyembunyikan jumlah orang yang terkena dampak penyakit ini secara akurat," kata McCaul.
Dia dan anggota parlemen lain telah meminta Departemen Luar Negeri untuk menggelar penyelidikan terkait apa yang disebutnya dengan pembungkaman pandemi ini.(*)