GELORA.CO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak memperkeruh suasana terkait angka kematian terkait virus Corona yang mencapai lebih dari 1.000 kasus. IDI menegaskan hanya mengingatkan pemerintah bahwa data Corona yang disampaikan bukan data terbaru.
Pernyataan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum IDI Slamet Budiarto saat dihubungi, Kamis (23/4/2020). Slamet awalnya menyampaikan permohonan maaf jika pengungkapan kasus kematian terkait Corona menimbulkan kegaduhan.
"Jadi IDI meminta maaf kalau pernyataannya membuat kegaduhan tapi pernyataan tersebut adalah niat baik untuk melindungi masyarakat pemerintah maupun tenaga kesehatan, intinya gitu dan intinya permasalahannya adalah bukan kematian 1.000, tapi penyebab data itu tidak valid," kata Slamet.
Slamet mengatakan tes swab terkait Corona paling cepat keluar 10 hari atau rata-rata dua minggu. Pemeriksaan yang lambat ini menyebabkan data Corona yang disampaikan pemerintah tidak menggambarkan situasi terbaru.
"Nah yang disampaikan oleh teman-teman Kemenkes atau pemerintah, misalnya hari ini itu hasil dari dua minggu yang lalu, misalnya periksa dua minggu hasilnya hari ini, hari diumumkan pemerintah jadi diumumkan pemerintah up to date atau dua minggu lalu?" ujar Slamet.
"Intinya IDI mengingatkan pemerintah bahwa datanya tidak up to date dikarenakan pemeriksaan hasil keluar tes swab yang PCR itu butuh waktu dua minggu. Ini harus diperbaiki, itu saja," sambung Slamet.
Selain itu, tes swab yang lama ini juga akan berakibat terhadap peningkatan kasus kematian akibat Corona. Karena, kata Slamet, pasien dalam pengawasan (PDP) tidak diperlakukan seperti pasien yang terkonfirmasi COVID-19.
"Jadi mungkin lebih optimal di pasien yang sudah confirmed, sehingga kemungkinan besar bisa meningkatkan kematian. Jadi perlakuan PDP sama confirmed itu beda ya," ucap Slamet.
Slamet mengatakan tes swab yang lama juga akan meningkatkan penularan virus Corona. Menurut Slamet, sebagian orang masih keluyuran lantaran merasa dirinya tidak terpapar COVID-19.
Efek lain dari tes swab yang lama ini juga bisa mengurangi tempat tidur perawatan. Pasien yang sudah sembuh harus tetap berada di ruang perawatan karena masih menunggu hasil tes swab.
"Akibatnya tetap penuh, pasien lain mau masuk tidak bisa, kemudian cost perawatan jadi mahal harusnya pasien dua minggu bisa jadi empat minggu, tapi kalau cost bisa debatable," ujar dia.
Selain itu, Slamet mengatakan tes swab yang lama ini bisa menyebabkan kekacauan data pasien. Sebab, kata dia, sebagian PDP meninggal tanpa ada hasil tes swab.
"Akan mengacaukan data, banyak pasien PDP yang meninggal tanpa ada hasil swab, sehingga ini akan mengacaukan data," imbuh dia. []