GELORA.CO - Pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap semakin menunjukkan rezim populisme yang lebih mementingkan kepentingan oligarki ekonomi dibandingkan rakyat.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun saat diskusi streaming bersama Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, Jumat (17/4).
Rezim populisme yang dimaksud oleh Ubedilah, terlihat dari banyaknya saran dan masukan dari para ahli yang diabaikan oleh Presiden Jokowi.
"Terlalu banyak profesor di bidang medis yang bicara agar Jakarta di karantina, tapi kan profesor kedokteran UI yang banyak itu tidak didengar," ucap Ubedilah Badrun.
"Tidak hanya itu, Ikatan Dokter Indonesia yang betul-betul mereka para ahli medis minta segera di karantina. Tidak didengar juga. Kemudian ilmuan banyak sekali, ekonom, analis menyarankan segera karantina Jakarta itu pada waktu itu. Tapi gak didengar," dia menambahkan.
Dari peristiwa tersebut, kata Ubedilah, semakin memperlihatkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi merupakan rezim populisme yang cenderung anti intelektualisme.
"Ini membenarkan tesis ciri rezim populisme adalah rezim yang anti sains, rezim yang cenderung anti intelektualisme dan itu terbukti saya kira hari-hari ini. Saya kaget ketika para guru besar fakultas kedokteran UI menyarankan karantina tapi direspon dengan cuek oleh rezim kekuasaan," jelasnya.
Artinya, kata Ubedilah, adanya kekuatan oligarki ekonomi maupun oligarki politik yang lebih didengar dibanding dari para ilmuwan.
"Ini rezim apa, terus siapa yang di dengar oleh rezim ini?. Berarti kan kalau para ilmuwan tidak di engar ya, analis yang menyebutkan bahwa oligarki ekonomi yang didengar itu menjadi benar," pungkasnya. (Rmol)