Ekonomi Indonesia Ambruk Bukan Karena Adanya Covid-19

Ekonomi Indonesia Ambruk Bukan Karena Adanya Covid-19

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

OLEH: SALAMUDDIN DAENG
 BANYAK sekali sektor ekonomi yang diuntungkan akibat pelemahan ekonomi global sebagai implikasi dari wabah Covid-19 ini. Tidak seperti yang tergambar selama ini seolah-olah seluruh sektor ekonomi akan ambruk karena Covid-19. Padahal bukan itu penyebabnya.

Bayangkan, saja akibat Covid-19 telah menimbulkan implikasi melemahnya harga barang-barang yang selama ini diimpor oleh Indonesia. Terutama sekali migas, bahan baku industri dan barang-barang konsumsi. Pelemahan ekonomi global telah berdampak pada penurunan harga-harga bahan mentah dan bahan baku secara drastis. Apalagi sekitar 70 persen impor Indonesia adalah bahan baku.

Sektor migas dan BUMN migas adalah sektor yang panen paling besar dalam keadaan Covid-19 sekarang ini. Bayangkan, harga minyak mentah telah jatuh lebih dari 50 persen dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga minyak sekarang rata-rata 20 hingga 25 dolar AS per barel. Jatuh paling bawah bila jauh dibandingkan dengan asumsi APBN 62 dolar AS per barel.

Dengan kondisi ini, biaya produksi perusahan migas seperti Pertamina akan turun sangat besar. Karena minyak mentah merupakan komponen biaya terbesar dalam struktur produksi migas. Sementara harga jual migas masih berada pada posisi yang menguntungkan. Belum ada perubahan harga sampai saat ini.

Perusahan BUMN seperti Pertamina bisa menekan harga impor BBM yang sangat besar. Bayangkan saja, Ron 92 bisa dibeli dalam kontrak di Singapura dengan harga 22 dolar per barel, atau Rp 3.300 per liter. Sementara harga jual BBM dalam negeri berhasil dipertahankan atau tidak ada perubahan harga.

Menurut salah satu sumber, di Malaysia harga BBM Ron 95 adalah Rp 4500 per liter. Begitu juga harga beli bahan baku LPG di Saudi Aramco telah turun lebih dari 25 persen. Sementara harga jual gas LPG di dalam negeri sebelum penurunan harga bahan baku LPG sudah menguntungkan BUMN. Apalagi sekarang.

Pihak lain yang sangat diuntungkan oleh pelemahan harga energi primer ini adalah PLN. Pelemahan ekonomi dunia telah berimplikasi pada pelemahan batubara, gas dan minyak. Dua jenis energi ini merupakan komponen energi primer yang selama ini menjadi pos terbesar dalam biaya produksi PLN.

Harga batubara jauh sekali berada di bawah harga yang dipatok oleh pemerintah, yakni 70 dolar AS per ton (harga batubara domestik market obligation/DMO). Sementara harga batubara di pasar tinggal 30 hingga 35 dolar AS per ton. Demikian juga harga gas dan harga bahan bakar lainnya.

Kesempatan ini merupakan momentum penting dan berharga bagi PLN dalam menekan harga energi primer. Segera melakukan renegosiasi harga dengan pembangkit independent power producer (IPP). Pada tingkat harga jual listrik sekarang ini akan menghasilkan keuntungan berkali kali lipat bagi BUMN jika tidak ada perubahan harga jual dalam negeri.

Bagaimana dengan perusahaan swasta? Banyak yang diuntungkan oleh pelemahan harga minyak global. Perusahan swasta di Indonesia dapat melalukan impor solar dengan harga yang sangat murah untuk menunjang kegiatan produksi mereka.

Mereka dapat memproduksi listrik untuk kebutuhan sendiri dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan sebelumnya. Demikian juga dengan harga bahan baku bagi industri lainnya, seperti bahan baku industri dasar besi, baja, plastik dan lain sebagainya, yang harganya juga jatuh.

Terus bagaimana dengan nasib perbankkan dan sektor keuangan? Ini juga menjadi oportunity tersendiri yang baik. Sebab di saat masyarakat dalam keadaan kesulitan uang, maka bank bisa panen besar. Permintaan kredit konsumsi akan meningkat tajam dalam jangka pendek.

Semua ini bisa terjadi, karena masyarakat kesulitan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian juga dengan lembaga keuangan seperti asuransi yang juga akan makin rame peminat di tengah keresahan sosial yang luas akibat krisis dan wabah belakangan ini.

Tata Kelola Pemerintah Buruk

Jadi, tidak seperti asumsi dan prediksi pemerintah bahwa akibat pandemik wabah Covid-19 ini, akan terjadi krisis keuangan dan perbankan, sehingga perlu dikeluarkan Perppu 1/2020, yang berkaitan dengan darurat sektor keuangan dan perbankan. Perlu disiapkan skema dana talangan untuk bank dan sektor swasta yang akan kolaps nanti.

Logika semacam itu sangat tidak berlandaskan pada fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Sampai hari belum ada Stress Test tentang bank. Belum juga ada bank yang menyatakan keadaan keuangannya memburuk akibat dari pandemic Covid-19, sehingga membutuhkan dana talangan.

Keadaan sektor keuangan yang memburuk memang bukan karena pandemic Covid-19. Sama dengan kondisi APBN yang juga memburuk, bukan akibat Covid-19. Resesi sektor keuangan dan bangkrutnya APBN 2020 belakangan ini dikarena tata kelola yang sangat buruk dari pemerintah.

Sebagai gambaran, beban utang yang ditumpuk sangat besar oleh APBN dan sektor keuangan. Begitu pula dengan penggunaan dana publik yang besar oleh pemerintah dalam mega proyek infrastruktur. Ada juga masalah lain seperti pengelolaan yang tidak akuntable, dan maraknya korupsi. Sehingga momentum wabah Covid-19, justru menjadi kesempatan emas bagi penyelenggara negara dan BUMN untuk introspeksi dan melakukan banyak pembenahan.

Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia. Segera membenahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan untuk anak-anak bangsa lain melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat udah, dan gampang sekali.

Tinggal mau atau tidak saja. Cara yang paling mudah dan gampang adalah dengan mengurangi ketergantungan pada impor. Segera bangkitkan dan hidupkan kemampuan industri nasional. Juga mengurangi ketergantungan pada utang. Sehingga momentum ini menjadi kesempatan emas untuk bangsa ini berdikari di bidang ekonomi. Kebetulan sekali pekan ini merupakan musim panen padi.

Tugas pemerintah adalah bagaimana memastikan rakyat bisa berbelanja. Kalau lapangan kerja masih kurang, maka pemerintah bisa kasih uang ke rakyat agar bisa berbelanja. Bisa langsung, bisa juga tidak langsung. Karena 57 hingga 60 persen GDP Indonesia sumbangan atau kontribusi dari konsumsi. Pelemahan konsumsi masyarakat inilah yang sangat terasa dan makin memburuk dalam lima tahun terakhir.

Jadi, ekonomi Indonesia memburuk bukan karena dampak dari pandemic virus Covid-19. Namun karena salah kelola dari pemerintah yang membuat ekonomi Indonesia sudah memburuk sejak awal. Buruk sebelum datangnya Covid-19 awal Januari 2020 lalu.

(Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita